May 20, 2010

Amok


Amok
Oleh: Fadly Rahman


Tidak lama sesudah Priok, peristiwa amuk massa terjadi di Batam. Tampak dalam kedua peristiwa itu begitu mudahnya masalah diselesaikan dengan amarah, adu fisik, vandalisme, bahkan menghabisi nyawa sekalipun.

Tentu, amuk dipicu penyebab yang membuat manusia menjadi kalap dan gelap mata akibat tersinggung, terhina harga diri dan kehormatannya yang diinjak-injak. Maka itu, amuk merupakan fenomena kejiwaan individual dan komunal manusia yang bersifat alamiah dan bisa terjadi secara spontan. Dan kejiwaan ini sudah sejak lama dikenal sebagai: amok, yang mana banyak didapati dalam rekaman sejarah di Asia Tenggara.

Sebagaimana kesaksian pelancong Portugis, Tomé Pires, yang menanggapi tradisi amok di Jawa tahun 1515. Pires mengatakan: “orang mengamuk adalah satria bagi mereka, orang yang bersedia mati, dan melaksanakan keputusan untuk mati tersebut”. Anthony Reid (1992) yang menelaah kesaksian Pires ini menyimpulkan amok sebagai kata kerja (mengamok), yang mana dalam kronik Melayu berarti semata-mata menyerang dengan senjata demi menewaskan musuh, meski harus mengorbankan nyawanya sekalipun.

Pada masa kerajaan, amok lekat dengan sikap membela kharisma dan kekuasaan raja melalui jalan pengorbanan nyawa. Misalnya saja di Bali, mengamok untuk berkorban demi kehormatan raja dan tanah airnya disimbolisasikan rakyat dengan mengenakan pakaian putih. Hingga awal abad ke-20 kisah pengorbanan macam ini masih hidup di Bali. Dalam kisah Puputan (perang habis-habisan) Klungkung tahun 1908, demi mempertahankan tanah airnya dari kolonialisme, rakyat Bali mulai dari kaum pria, wanita, hingga anak-anak dengan persenjataan tradisional bahkan tangan kosong turun menghadapi moncong senjata serdadu kolonial. Akhir dari cerita puputan yang heroik itu, banyak rakyat tewas, ditembaki. Mereka seakan tahu, akan kalah; tapi tampaknya, keyakinan gugur dengan jalan demikian –seperti dikatakan Pires– adalah sikap satria. Membela raja mereka adalah tugas mulia.

Jauh sesudah masanya Pires, pada kurun abad ke-19, cerita seputar amok makin menarik perhatian dan rasa penasaran orang-orang Eropa. Tidak seperti kronik sebelumnya, pada abad ke-19 citra amok kian jelas terungkap melalui pencatatan rinci peristiwa dan cerita seputar amok sebagai watak kejiwaan orang Melayu. Dalam kisah itinerario (perjalanan) seorang warga Bengal keturunan Inggris bernama Charles Walter Kinloch pada 1852, yang dibukukan dalam Rambles in Java and the Straits in 1852 menyinggung pengamatan dan penilaiannya tentang kejadian amok di Penang, Malaysia, sepulangnya ia tetirah di Pulau Jawa.

Dengan mengutip berita dalam Penang Gazette, Kinloch menuturkan kisah kriminal di wilayah Bayan Lepas yang dilakukan seorang Melayu bernama Jusoh. Dikisahkan, ketika pulang ke rumahnya, Jusoh mendapati istrinya tengah mengadakan pesta besar dengan mengundang orang-orang tanpa sepengetahuan dirinya. Percekcokan Jusoh dengan sang istri dan para tamu terjadi. Dalam ketersinggungan dan amarah, Jusoh pergi meninggalkan rumah lalu kembali dengan membawa sebilah pisau. Dalam keadaan gelap mata, ia membunuh dan melukai beberapa orang dalam rumahnya. Jusoh pun ditahan polisi.

Petikan cerita kriminal dalam suratkabar itu dikatakan Kinloch sebagai amōk (sic!). Istilah ini kemudian menjadi kosakata dalam bahasa Inggris (amok), dan diplesetkan juga dengan istilah a muck (kotoran). Amok dipakai untuk menerangkan keadaan gelap mata manusia yang rentan terjadi entah karena perasaan bersalah, tersinggung, dan terdesak. Kinloch sendiri menilai fenomena gelap mata dalam alam kejiwaan manusia itu banyak didapati di lingkungan orang-orang Melayu (rumpun bangsa di Asia Tenggara).

Apakah ini benar sebentuk karakter kolektif kejiwaan bangsa Melayu? Tentu taklah benar memukul rata hal tersebut. Tidak semua begitu. Tapi, dalam membaca persoalan karakter itu, pernyataan seorang Belanda bernama Johanes Olivier (1789 – 1858) menarik disimak. Bahwa dikatakannya, mutlak perlu untuk selalu ramah tamah terhadap orang-orang pribumi, selalu sopan dan sekali-kali tidak boleh lekas marah ataupun bersikap menghina. Jika pernyataan Olivier dihubungkan dengan penilaian Kinloch akan memunculkan pertanyaan: apa yang terjadi jika mereka tersinggung? Terkait dengan pengamatan sejaman mereka, gejala amoklah yang umum terjadi.

Namun, hakikat amok pada abad ke-19 sebenarnya telah bergeser dari citranya sebagai sikap satria sebagaimana terdapat dalam kronik kerajaan yang hidup pada masa sebelumnya. Citranya tak lebih dinilai Kinloch sebagai tindakan brutal dan kriminal. Memudarnya kekuasaan raja-raja berikut monarkinya pada abad ke-19 yang digantikan kekuasaan politik Hindia Belanda, membuat watak amok seakan lepas kendali. Tidak adanya lagi kepentingan membela harga diri patron (raja), membuat amok beroperasi dalam kasus-kasus, seperti gerakan sosial atau membela harga diri individu, seperti halnya kisah Jusoh yang gelap mata itu.

Hingga masa alam kemerdekaan pun, fenomena amok masih banyak terjadi. Atas nama identitas, aksi amok dikesankan sebagai ekspresi membela bangsa dan negara. Misalnya masa revolusi kemerdekaan (1945 – 1949) ketika bagaimana dekolonialisasi ditandai kebencian terhadap orang-orang asing Eropa (xenophobia). Ini terbaca dari kisah-kisah repatriasi orang Eropa ke negeri asalnya, peristiwa perusakan properti dan penganiayaan juga mewarnai masa-masa akhir mereka di Indonesia. Betapa, rakyat pribumi yang sebelumnya dicitrakan peramah, berubah menjadi begitu pemarah.

Amok lain juga terjadi tahun 1965 hingga masa sesudahnya. Membaca Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) karya Hermawan Sulistyo, terungkap betapa kegelapan mata menghasilkan genosida tak terduga yang dipicu persoalan sentimen idiologi antaranak bangsa. Juga tengok kejatuhan Orde Baru pada 1998; bagaimana amuk massa yang diwarnai sentimen etnis terjadi dan disertai penjarahan, perusakan, penganiayaan, hingga pelecehan seksual. Tidak seperti halnya heroisme puputan di Bali, amok-amok macam itu begitu menakutkan, jauh dari sifat satria; sejenis ‘kotoran’ (muck) yang mengotori sejarah bangsa ini.
Aksi adu fisik, menyakiti, dan vandalisme, sebagaimana peristiwa di Priok dan Batam menandakan masih lestarinya amok dalam alam sekarang –yang dibilang– ‘modern’ dan ‘beradab’ ini. Memang, semestinya semua bisa dihadapi dengan kepala dingin. Tapi sebagaimana pesan-pesan lampau, bagi siapa saja, janganlah coba mencari gara-gara yang dapat membangunkan amok.

(source: http://koran.republika.co.id/koran/0/111398/Amok)

No comments: