Sep 30, 2010

Pendidikan yang Kebas



Fadly Rahman

All in all it's just another brick in the wall.
All in all you're just another brick in the wall.

(Another Brick in the Wall, Pink Floyd)

I can't explain you would not understand
this is not how I am.
I have become comfortably numb.

(Comfortably Numb, Pink Floyd)

Setiap tahun penerimaan peserta didik baru digelar di berbagai sekolah hingga pendidikan tinggi. Calon peserta didik bergelombang masuk ke sekolah pilihannya. Di dunia barunya, mereka telah dinanti para kakak seniornya yang telah lama menyiapkan agenda “orientasi pengenalan kampus”. Bagaimanapun sebutan itu lebih dipakai sebagai sebentuk eufemisme menyamarkan prosesi penerimaan pendatang baru untuk diinisiasi secara resmi melalui wajah-wajah berlagak suram, ketus, bahkan keras hanya untuk bisa masuk menjadi bagian “keluarga” barunya. Peserta didik yang tidak mengikuti inisiasi, hanya akan disisihkan dari “keluarganya”, bahkan oleh rekan-rekan seangkatannya sekalipun. Mereka yang tidak turut dalam inisiasi dianggap tidak ambil bagian dalam “keluarga barunya”. Tampak, jejaring kroni dalam unit kecil (baca: sekolah) terlembaga; dan kelak membuat individu tidak merdeka –tanpa disadarinya– namun merasa aman, nyaman untuk bergantung dan mengelompok dalam “keluarganya”.

Melihat pemandangan inisiasi annual ini saya selalu terngiang dengan lantunan lirik lawas lagu Pink Floyd sebagaimana avant propos di atas. Bukan cuma lirik, namun juga mengingat gambaran suram dalam klip videonya. Dalam Another Brick in the Wall itu, ruang pendidikan dialegorikan sebagai “tembok kekuasaan” yang ditempati peserta didik, sedari mereka masuk hingga tamat studi. Suatu kondisi yang membuat mereka tidak mampu bersuara (baca: berpendapat) secara individu; biasanya kelantangan bersuara –yang menggerumut– baru ke luar ketika mengelompok. Fragmen video juga menampilkan wajah pendidikan seolah “pabrik” pencetak barang-barang produksi. Sebagian besar dari peserta didik masuk hingga tamat sekolah dalam keseragaman pandangan dan tujuan: untuk apa menjalani –bukan menghayati– pendidikan?

Dalam lirik sarkasmenya, video itu menampilkan seorang guru galak berteriak pada murid-muridnya: “If you don't eat yer meat, you can't have any pudding. How can you have any pudding if you don't eat yer meat?.” Kata-kata “eat”, “meat”, dan “pudding” merupakan aksentuasi Roger Waters dkk yang bersatir pada realitas “pendidikan” sebagai “makanan” yang harus “dimakan” murid untuk kelak bisa mendapatkan “kue” semisal status sosial, okupasi, atau ekonomi. Murid-murid menerima saja; dan bukanlah pada tempatnya mengkritik atau protes atas segala bentuk keganjilan pendidikan yang mendidik mereka. Ditambah, kekritisan itu sendiri sudah dimati(rasa)kan.

Bagaimana bisa persepsi banal begini atas pendidikan bisa tumbuh? Bagaimana akarnya bisa merambat dalam dunia pendidikan?

Mestilah disadari, ranah pendidikan seringkali dibingkai oleh rupa-rupa “kekerasan”, salah satunya didapati dalam tradisi ospek, berupa perlakuan senior terhadap juniornya; entah itu pedandanan atribut konyol, bentakan, caci maki, hingga kontak fisik. Meski acapkali jatuh korban jiwa, celakanya tradisi ini masih tetap lestari; dan sekalipun terjadi insiden, dengan beralaskan citra “keluarganya” (baca: lembaga), noda kekerasan pun ditutup-tutupi.

Kekerasan seolah dikondisikan untuk “dinikmati”, hingga akhirnya diwariskan secara generatif menjadi seakan “mati rasa”. Dan kekebasan ini sebenarnya adalah wajah feodal dunia pendidikan kita yang bibitnya tumbuh sejak peserta didik menjalani proses perpeloncoan. Tanpa disadari, tradisi ini berkembang tumbuh, hatta menubuhkan mental-mental feodal gaya baru berupa hubungan patron-client dalam ruang-ruang pendidikan, bahkan mentalnya memagut dan berpengaruh hingga ke luar ruang itu.

Benarkah neo-feodalisme itu ada? Jika iya, bagaimana bisa semua ini terjadi jalin-menjalin? Jelas, sekalipun berbalut pendidikan berwajah modern, jika meminjam telaah Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya Pahlawan-Pahlawan Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik (2001), mentalitas neo-feodal ini merupa hubungan “bapak-anak” yang menggejala di Indonesia pascakolonial. Potret korupsi, kolusi, nepotisme, dan kroni gaya Orde Baru dibongkarnya untuk menampilkan buah dari hubungan “si bapak” yang “mengayomi” dan “si anak” yang “diayominya.” Sasaki sangat bagus mengungkapkan biang keladi semua itu beraras pada gaya kroni Orde Baru yang jelas-jelas dan gamblang diakui Soeharto bahwa kekuasaannya mengadopsi konsep Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tuladha-nya Taman Siswa gagasan Soewardi Soeryaningrat. Soewardi atau dikenal Ki Hajar Dewantara adalah bapak/penggagas pendidikan nasional yang mengenalkan konsep “kekeluargaan” dalam lembaga pendidikan Taman Siswa-nya.

Hubungan “keluarga” tanpa landasan pertalian darah ini secara politis dipakai (baca: dimanfaatkan) dalam kroni Orde Baru untuk “mengayomi”, “membangun”, dan “memberi teladan” anak-anak buahnya. Dalam riwayat politik Orde Baru, “anak” yang bersimpang jalan dengan si “bapak” disisihkan, diasingkan, dibungkam, hingga dibuang. Dan nyata, prinsip ini juga berlaku dan membaku tanpa disadari dalam mental –sebagian ciri– lingkungan pendidikan sebagaimana jejaringnya diungkap secara sistematis oleh Sasaki. Buku Sasaki ini juga patut menjadi cermin untuk menelaah tradisi ospek yang meski disadari “feodal”, tapi mengapa selalu dikondisikan ada dan begitu sulit dihapuskan? Barangkali sama jawabnya dengan lirik lagu Pink Floyd lainnya, Comfortably Numb, bahwa mereka yang terlibat di dalamnya sendiri seolah tidak dapat menjelaskannya; pun mereka sendiri sulit mengerti mengapa dirinya bermental begitu? Mereka sudah menjadi “mati rasa” dalam “kenyamanan” kuasa dan kekerasan dunia pendidikan.

Kekebasanlah yang telah membuat nyaman kekuasaan dan kekerasan. Dan tanpa sadar itu memenjara kebebasan intelektual peserta didik, sebagaimana dalam Summerhill (1968), pedagog A.S. Neill mengatakan bahwa “memaksakan apa pun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apa pun sampai ia mampu berpendapat dengan pendapatnya sendiri, bahwa itulah yang harus dilakukan.” Yang diperlukan hanya “kebebasan”, bukan justru merawat “kekebasan” intelektual.

Jun 25, 2010

Mengenang "Surganya Jawa"




MENGENANG "SURGANYA JAWA"

Rabu, 23 Juni 2010 | 17:36 WIB

Oleh FADLY RAHMAN

Kesan sebuah desa, dusun, atau kampung yang-sebagaimana fenomena masa kini-ingin "di-kota-kan" sedianya tidak bisa dilepaskan dari citra silamnya. Kesilaman itu sejatinya menjadi memori dan identitas bagi manusia yang menghuninya sekarang.

Namun, bagaimana jadinya jika citra silam itu kian meredup lalu hilang ditelan berbagai pembangunan, didorong kebutuhan (atau nafsu?) ingin menjadi kota? Hawa itu bisa dirasakan di Jatinangor.

Sebagai bagian dari wilayah Sumedang, Jatinangor lebih dikenal sebagai kawasan pendidikan tinggi. Statusnya sebagai kawasan pendidikan itu pula yang secara langsung memberi rembesan bagi siapa saja yang ingin mencari peruntungan ekonomi. Di Jatinangor bangun-membangun rumah kos, ruko, hingga kios-kios pinggir jalan, mal, bahkan jika tidak ada aral melintang, akan dibangun apartemen, semua didapati di sini. Wajah-wajah pembangunan itu berjejal di antara persawahan yang masih bertahan dan sudah dipatoki papan bertuliskan: dijual!

Barangkali banyak orang awam yang belum dan akan datang bahkan bermukim lama di Jatinangor bertanya-tanya soal perkembangan status wilayah ini. Apa lebih tepatnya menyebut status Jatinangor? Tidak tepat untuk menyebutnya-menjadi-kota jika hanya menimbang pembangunan semacam sarana perbelanjaan modern yang sudah beberapa tahun belakangan seakan menjadi kebanggaan masyarakat pribumi.

Kota, dalam peradaban manusia, adalah puncak-puncak kebudayaan, yang mana manusia penghuninya (baca: utamanya pribumi) sadar memajukan wilayahnya sendiri. Adapun gegap gempita pembangunan di Jatinangor lebih diusahakan orang-orang luar yang mencari peruntungan ekonomi.

Maka, melihat wajah kekinian Jatinangor sungguh mengubur citra silamnya sebagai desa dengan perkebunan, persawahan, dan gunung yang-semestinya-asri dipandang. Ditambah memori silamnya yang terekam melalui menara loji dan jembatan eks jalur kereta api sebagai ikonnya.

Saksi bisu

Kedua situs kolonial itu kini hanya jadi saksi bisu yang sedianya merekam kisah Baron Baud, pengusaha perkebunan Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud di kawasan Jatinangor pada akhir paruh pertama abad ke-19. Di Priangan sosok Baron Baud tidaklah seterkenal KF Holle yang dikenal mengakrabi lingkungan budaya pribumi meski keduanya hidup sezaman.

Selain sebagai pengusaha perkebunan, Baud bolehlah dikenal sebagai pencinta flora. Nama putrinya saja bahkan diambil dari sebuah nama flora merambat, sensitif jika tersentuh, dan hanya tumbuh di iklim tropis Asia Tenggara dan Amerika: mimosa (lebih dikenal dengan sebutan "putri malu"). Bahkan, nama Jatinangor sendiri, sebagaimana disinggung dalam sebuah tulisan T Bachtiar, adalah genus flora dari benua Amerika yang kemudian diberi nama lokal: Jatinangor. Seperti dibayangkan Bachtiar, tumbuhan berwarna merah itu konon pada masa hidupnya Baud pernah begitu asri mewarnai kawasan perkebunan teh miliknya.

Imajinasi Bachtiar tidak ada salahnya jika membaca kembali kondisi silam Jatinangor sebagai daerah perkebunan yang menyatu dengan bagian dalam atribut silam Sumedang sebagai "surga dari tanah Jawa". Julukan ini begitu mengemuka seiring pengukuhan Sumedang sebagai "Puseur Budaya Sunda." Julukan yang tampaknya begitu ngabubungah elemen masyarakatnya.

Tentu saja sebutan cantik itu tidak dicipta seketika, tetapi diambil dari sebuah buku fotografi cetakan awal abad ke-20 bertajuk Het Paradijs van Java susunan Wijnand Kerkhoff. Di bawah tajuk utama ada transliterasi ke dalam berbagai bahasa: "Sorga dari Djawa", "Das Paradis von Java", "The Paradise of Java", "Le Paradis de Java", "El Paraiso de Java", dan "Il Paradiso di Giava". Setiap foto memiliki caption bernarasi bahasa Belanda dan Melayu.

Dalam sebuah bagiannya, ada sebuah foto kereta api melintas di Jembatan "Tjikoeda" Jatinango-yang saat itu masih menghubungkan jalur Tanjungsari ke Rancaekek-dengan latar pegunungan dan hamparan persawahan. Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, tentu saja pemandangan tempo doeloe nan cantik ke arah jembatan cincin-begitu sebutannya sekarang-itu belum terkotori selipan warna-warni bangunan kos-kosan. Sungguh waas membayangkan pemandangan pada masa itu.

Pantas saja Johan Koning yang memberikan kata pengantar buku fotografi Kerkhoff itu menyebut Sumedang, termasuk di dalamnya Jatinangor, sebagai "Italy of the East". Tapi, jauh sebelum itu ternyata sebutan cantik itu sudah didapati dalam sebuah catatan perjalanan seorang Inggris bernama Charles Walter Kinloch pada 1852. Dalam buku itinerario-nya di Pulau Jawa bertajuk Rambles in Java and the Straits in 1852, pada 1 Juli 1852 Kinloch mencatat turnoinya dari Bandung ke Sumedang.

Betapa ia terpana dengan keelokan alam Sumedang yang mengingatkannya pada kalimat sebuah puisi bertajuk Naples (sebuah kota di Italia). Salah satu bait puisi berbahasa Italia itu dikutipnya untuk mengiaskan keelokan Sumedang sebagai un pezzo di cicelo caduto in terra (hal 71); ya, "sepotong surga yang jatuh ke bumi". Hingga awal abad ke-20 citra "surga yang jatuh ke bumi Sumedang" itu masih bertahan, terbukti dari julukan yang disematkan Koning. Proyek kolonialisme?

Jelas, pada masa awal abad ke-20, penggambaran eksotika alam ini sebentuk proyek kolonialisme yang terbilang serius, salah satunya untuk kepentingan sektor turisme di tanah jajahannya, sebagaimana kolonialisme membangun citra Bandung sebagai Parijs van Java atau Garut sebagai Swiss van Java.

Boleh jadi kini, daerah lain yang tidak memiliki julukan sejenis merasa cemburu dengan sebutan cantik semacam itu yang tidak dimilikinya. Jikalah benar ada kecemburuan begini, hendaknya ditelaah kembali siapa penyemat atribut itu. Bukan orang pribumi yang menjulukinya, melainkan "berterimakasihlah" kepada orang-orang Eropa seperti Baud yang hidup pada masa kolonial itu.

Selain mungkin berjasa atas toponimi Jatinangor, mungkin Baud juga punya makna tersendiri memberi nama putrinya, Mimosa. Flora pemalu itu tampaknya menjadi penanda betapa malunya Baud mengotori "surga" yang pernah mereka huni.

Namun, tentu saja semua itu hanya citra silam Jatinangor ketika belum dirasakan adanya kegersangan dan kerawanan akan banjir, sebagaimana pernah dimaklumi seorang menteri yang beberapa bulan lalu menghibahkan sejumlah perahu karet. Seandainya Baud, Kinloch, Kerkhoff, dan Koning melihat kondisi sekarang, entah sebutan macam apa yang akan mereka berikan.

FADLY RAHMAN Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Unpad, Tinggal di Jatinangor

May 30, 2010

Rijsttafel: The History of Indonesian Foodways


RIJSTTAFEL was the word coined by the Dutch in the Netherlands Indië to denote a substantial meal of rice accompanied by many other cooked dishes. The word probably came into general use after the opening of the Suez Canal in 1869, which greatly reduced the sailing time between Holland and the Indies and allowed large numbers of Dutch colonials to be accompanied by their wives and children. Hitherto, single men had been accustomed to engage the services of young Indonesian women, who kept house and cooked for them, and often became their mistresses. These nyai, as they were known, naturally cooked the food they were familiar with, and the Dutchmen quickly grew to appreciate it. This process of acculturation continued when Dutch women arrived, bringing to the colonies European eating habits, cooking techniques, and ways of serving food. This was how the rijsttafel became popular in the Dutch community, and before long was ‘exported’ to the Netherlands as tourism in the Indies developed in the decades after 1870. T.J. Bezemer (1921) relates his experience as a passenger on the S.S. Rotterdam Ship from Holland to Batavia: at lunch or dinner, thirty or forty stewards were lined up in the dining saloon, the first bearing a silver platter laden with white rice, the others with dishes of meat, fish, vegetables, and sauces. When the passengers had chosen and eaten as much as they wanted, Dutch beefsteak was served, without which the Europeans would not have considered the meal complete. The most celebrated rijsttafel in the Indies was served for Sunday luncheon at the Hotel des Indes in Batavia and the Hotel Homann in Bandung, where the rice was accompanied by sixty different dishes.


Most of these dishes were Javanese. But they were served Dutch-style, each on a separate plate, instead of being placed on a large side-table for guests to help themselves. This was true even of acar (pickles), sambal (hot chili condiments), and krupuk (shrimp or fish crackers), which Javanese people would not regard as ‘dishes’ at all. The usual drink in rijsttafel was beer - sometimes a good deal of beer. This weekly ritual perhaps gave hard-pressed plantation managers and their wives a chance to relax and meet friends; but it was also a statement of Dutch authority, underlined by the adoption of indigenous foods, adaptation of selected local dishes, and the mock-formality of white-suited, barefoot waiters (called jongos, from the Dutch word jongen, ‘young men’). It all made a favourable impression on western tourists who came in large numbers to Nederland Indië in the 1920s and 30s. It has had one positive result: a more general recognition of Javanese food, and Indonesian food generally, as an authentic haute cuisine. As served in many Indonesian restaurants in western countries today, and in tourist locations in Indonesia itself, the rijsttafel is less successful because too many dishes are laid before the bewildered guest and too many of them taste the same, having been kept hot for hours so that everything is stewed. But a good rijsttafel, sensibly approached, can be a very satisfying gastronomic experience.

(This article is an abridged version of my thesis at University of Padjadjaran entitled Rijsttafel; the Development of Foodways in Java [1870 - 1942])

Picture Source: http://www.engelfriet.net/Alie/Hans/desindes.htm

May 28, 2010

Molly Bondan: In Love with a Nation, Penuturan dalam Kata-Katanya Sendiri.

Judul: Molly Bondan: In Love with a Nation, Penuturan dalam Kata-Katanya Sendiri.
Penulis: Molly Bondan
Editor: Joan Hardjono-Charles Warner
Penterjemah: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Obor
Cetakan: I, 2008
Halaman: xviii+298 hal.


Pasang surut hubungan Indonesia – Australia adalah bagian tidak terpisahkan dari faktor historis dan isu-isu politik kedua Negara. Dan fragmen penting yang sedianya disadari dapat menyadarkan hubungan keduanya hidup pada sosok: Molly Bondan.


Buku otobiografi Molly Bondan ini adalah keping dari sejarah hubungan Indonesia; selain tentunya dengan Molly pribadi, juga Australia–sebagai tanah kelahirannya itu. Siapakah Molly? Terlahir pada 1912 dengan nama Molly Warner, proses persentuhannya dengan Indonesia dimulai dari ketidaktahuan dan ketidaksengajaannya masuk dalam poros revolusi kemerdekaan Indonesia. Perkenalannya dengan para aktivitis politik antikolonial Indonesia di Australia yang tergabung dalam Central Komite Kemerdekaan Indonesia (CENKIM)-lah yang mengantarkan Molly menyelami isu-isu politik seputar rekolonialisasi Belanda di Indonesia; terlebih pernikahannya dengan Mohamad Bondan, eks-Digulis dan eksponen CENKIM.


Kisah cintanya dengan Bondan sendiri tidak diungkap Molly berlebih. Tapi itu dirasakan hidup dalam kelindan idealismenya bersanding dengan Bondan yang –atas kesadarannya sendiri– membawanya ke Indonesia pada 12 November 1947 dan berjuang mempertahankan kemerdekaan republik ini.


Bukan hanya menekankan pada aktivitas politik, namun hal menarik dari fragmen hidup Molly adalah pandangan dan sikap kritisnya terhadap dinamika wajah kehidupan sosial budaya Indonesia. Misalnya saja pandangannya seputar kehidupan beragama di Indonesia yang dinilainya hanya hidup pada sendi-sendi formalitas saja; hanya tampilan luar tanpa disertai pemaknaan mendalam pada hakikat universalitas agama dan nilai-nilai ketuhanan yang dikandung dalam agama itu sendiri.


Penilaian Molly ini tidak bisa lepas dari filosofi ajaran teosofi yang sejak kecil dikenal dan diresapinya (hal. 8 – 10). Maka itu, dalam kritiknya atas penerapan Sila ke-1 Pancasila yang dimaknai masyarakat secara banal, tidak lebih sekedar “harus pergi ke gereja atau mesjid”, dan ujarnya “aku tidak percaya bahwa maknanya seperti itu. Arti yang benar adalah kesadaran yang terus-menerus tentang keberadaan Tuhan, selalu mengingat Yang Maha Esa dalam setiap kegiatan…” Pemaknaannya atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “Believe in God” itu, mewakili pandangannya atas Pancasila sebagai ideologi politik yang ideal; dan seperti dikatakannya “selama Indonesia menetapkan bahwa pasal-pasal itu adalah tujuannya, aku akan mendukung Indonesia apapun yang terjadi.” (hal. 184 – 187). Namun di matanya, pemaknaan dan penerapan Pancasila hanya tampak dalam kemasan luar, formalitas yang dangkal.


Kegagalan memaknai pancasila –yang diharapkan sebagai pembentuk mentalitas masyarakat Indonesia– menurutnya malah hanya menghasilkan deviasi moral. Penyimpangan itu, sebagai contoh, tampak dari kegagalan peristiwa kudeta tahun 1965 yang ia nilai sebagai masalah mengerikan dan membebani, belum lagi kegilaan arus ‘modernisasi’ yang melanda masyarakat Indonesia (hal. 182). Penerapan ‘demokrasi’ adalah salah satu fenomena ‘modernisasi’ pascagagalnya kudeta tahun 1965 yang menjadi masalah nyata dan –hingga kini masih– menggejala lewat aktualisasi penekanan fungsi-fungsi partai politik sebagai komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. Padahal baginya, jelas, organisasi politik di negara ini tidak berfungsi sama sekali dalam membentuk ideologi; sebab yang diikuti hanyalah satu ideologi: Pancasila.


Pandangannya terhadap Pancasila sebagai sebuah ideologi juga dikaitkan dengan keeratannya bekerja dalam pemerintahan Soekarno hingga Orde Baru. Salah satu peran yang dilakoninya adalah penerjemah pidato-pidato Presiden Soekarno.


Pidato Presiden Soekarno di muka Sidang Umum PBB bertajuk New Emerging Forces dan To Build the World Anew tidak lepas dari peran Molly sebagai penerjemah naskah pidato tersebut. Terdapat perannya di balik muatan naskah pidato yang penuh gebu spirit nasionalisme itu; tapi yang utama, secara kejiwaan ia telah melepas mentalitas serta geneologinya sebagai seorang ‘Barat’ di tengah konstelasi konflik ideologi politik kapitalisme liberal dan komunisme imbas Perang Dingin –yang saat itu terkutubkan dalam Blok Barat dan Timur. Tentu, ini bukan soal loyalitas Molly berpihak pada Indonesia atau berkiblat pada salah satu kumparan ideologi; tapi idealismenya memandang superiotas Barat dengan gaya neoimperialismenya yang membuat ia memposisikan diri demikian.


Molly seakan coba mendekonstruksi kecupetan konstruksi dikotomik Barat dan Timur. Jaras itulah yang selama ini masih saja mengekang mentalitas orang Indonesia memandang Australia sebagai Barat yang kuasa; dan segelintir orang Australia yang memandang Indonesia sebagai Timur yang rendah. Tapi, Molly lewat pengalaman dan pandangan hidupnya meluruhkan itu semua.


Otobiografi yang disusunnya ini menuangkan pandangannya sejak awal persentuhannya dengan Indonesia, pernikahan dengan Mohamad Bondan, pengalamannya pada masa Orde Lama hingga Orde Baru pada dasawarsa 1980-an, hingga masa menjelang tutup usianya pada 1990. Lewat enam belas pembabakan perjalanan hidupnya, ditambah suplemen renungan dan lampiran seputar ajaran teosofi yang diresapinya hingga menyoal asosiasi Indonesia – Australia; setidaknya buku ini menjadi salah satu refleksi sejarah seputar wacana nasionalisme Indonesia dilihat dari perspektif Molly. Dan dalam skala luas sebagai penyadar pasang-surut hubungan Indonesia – Australia.
Seperti dikatakan John Legge dalam pembuka kata buku ini (hal. xi), Molly memang cukup berhati-hati dalam membuat pernyataan tegas seputar peran dirinya dalam menyusun otobiografinya ini. Itulah kenapa buku ini mampu mendudukkan perspektif Molly secara khusus dan kondisi umum politik Indonesia terkait pasang surut hubungan dengan Australia selama ini.


Membaca sosok Molly seakan dua sisi sekeping mata uang: ia yang terlahir sebagai seorang Australia namun menjadi seorang nasionalis, republiken yang menumpahkan hidupnya membela kemerdekaan Indonesia. Tapi, apalah arti ia yang muasalnya seorang dari Negeri Kanguru atau si filantropis pada Indonesia ini? Toh benar seperti dibilang Ben Anderson: nation adalah imagined community yang hakikatnya kita semua adalah “anak semua bangsa”–mengutip salah satu judul tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Dan sosok Molly hidup dalam jaras itu!

Aura Seni (dan) Jeihan: Perspektif Tamaddun




oleh: Fadly Rahman

Albert Einstein berkata: “matter is energy, energy is light, we are all light beings.” Bagaimana bisa ‘cahaya’ manusia dirumuskan melalui E=mc2, rumusan terkenal sang fisikawan itu? Entah. Einstein tentu punya rumusannya sendiri, seperti halnya setiap manusia menyukai tafsir-tafsir sebagai rumusan hidupnya.

Cahaya manusia yang kasat mata itu lebih dikenal dengan istilah ‘aura’; kata dalam bahasa Yunani au|ra yang berarti “a particular atmosphere or quality that seems to surround a person or thing.” Karena sifat kasat itulah yang membuat Fisslinger pada 1998 membuat Aura Video Station, sebuah mesin pemindai aura tubuh manusia. Merah, oranye, hijau, kuning, biru, indigo adalah sekian warna yang berkelindan di antara tubuh yang menandai keadaan tensi emosi keriangan, amarah, dan kemuraman manusia. Alat itu dicipta, berhubung penglihatan kita dibatasi kemampuannya oleh Tuhan untuk memindai aura. Hanya rasa saja, penginderaan yang kita andalkan untuk –itupun sebatas merasa– membaca kejiwaan manusia. Tapi, kiranya, para pelukis diberi kelebihan oleh Tuhan, baik penginderaan maupun ruhaninya untuk membaca warna cahaya pada tubuh manusia.

Indera dan ruhani itu pula yang tampaknya mengisi raga (seni) Jeihan. Sapuan kuasnya di kanvas mengalihkan obyek seorang gadis berjilbab yang tampak riang, merona merah wajahnya ketika dilukis. Prosesi melukis kurang lebih sekitar sepuluh menit saja. Hasilnya adalah sesosok –seperti biasa– bermata hitam dengan latar merah tua menyala. Sebagai seorang penikmat/pemandang seni rupa yang agak awam ini, entah apa yang membuat kuduk ini bergetar melihat hasil sapuan akhir kuas Jeihan itu. Mata hitam adalah aksentuasinya, dan ruang putih dalam kanvas menyiratkan harmonisasi dan kekuatan filosofi tersendiri yang menjadi sebab terjadinya vibrasi dalam jiwa tatkala memandangnya. Mungkinkah ini penyampaian kekuatan aura seninya yang membuat harga lukisan-lukisan Jeihan melambung mahal, ratusan juta rupiah. Hanya pencinta/penikmat/barangkali pasar saja yang mampu memaknainya –atau kolektor yang memiliki dan memajangnya sebagai prestise.

Tapi, tentu saja, di balik mata hitam dalam lukisannya itu, warna merah tua menyala yang menjadi latarnya mengandung enigma. Apakah itu sejenis pembacaan Jeihan terhadap aura si gadis yang riang gembira? Entah. Yang pasti si gadis memang sumringah, sampai-sampai mencium punggung tangan Jeihan sebagai kesuka-citaannya. Tapi, hanya Jeihan saja yang tahu jawaban di balik setiap karyanya, kita bolehlah menafsir-nafsir. Seorang teman mewartakan hal penting –yang bolehlah dibilang salah satu ide tulisan ini, bahwa Jeihan memilih-milih aura yang disukainya untuk dilukis. Mungkin, itulah mengapa, dalam lukisan lainnya ada juga pancaran murung, putus asa, kontemplatif, bahkan riang kekanakan dengan penekanan mata hitam penuh misteri. Pilihan obyek lukisan Jeihan dengan macam kesan demikian mengingatkan pada kata-kata Raphael (1483 – 1520), “In order to paint a fair one, I should need to see several fair ones, with the proviso that Your Lordship will be with me to select the best. But as there is a shortage both of good judges and of beautiful women, I am making use of some sort of idea which comes into my mind.”

Tuhan, dikatakan Raphael, bersamanya ketika memilih objek yang terbaik untuk dilukisnya. Hasilnya adalah serangkaian potret Madonna (Virgin Mary) atau sebentuk kepala perempuan dengan sorot mata mendelik cantik mengulum senyum amat simpul/sederhana –seperti halnya senyum penuh misteri Monalisa karya Leonardo da Vinci sebagai yang paling tersohor dari sekian karya-karya seni rupa Renaissance itu.

Raphael hidup pada masa awal Renaissance di Eropa. Dan para pelukis semasanya itu terbawa pada alam pikiran yang mencitrakan nilai-nilai religiusitas dengan dominan menampilkan figur perempuan dalam kanvas-kanvas lukisannya seperti –selain Raphael dan da Vinci– Fra Filippo Lippi dengan Madonna and Child, (1455), Tintoretto, The Origin of Milky Way (1575/1580), Jan van Eyck, Madonna and Child (1433), atau Gatochi, Titian, Virgin, and Child (ca. 1500). Kedudukan perempuan dalam karya-karya seni rupa sungguh tidak menonjol saat kesuraman Abad Pertengahan akibat dogmatika gereja yang mengutuknya sebagai sumber dari segala petaka hidup manusia, sebagaimana karya Masaccio: The Expulsion of Adam and Eve. Perempuan dikutuk, sebab dialah mula yang menyebabkan umat manusia diusir dari taman surga ke dunia fana ini. Cahaya Hawa pun gelap di masa Abad Pertengahan; lalu sebagai pengalih Hawa, mulailah gereja mengkultuskan figur Madonna atau Perawan Maria yang memengaruhi juga selera banyak artisan masa itu (Frances & Gies, 1978: 37; Wallbank & Taylor, 1949: 477).

Figur perempuan yang banyak ditampilkan dalam seni rupa masa pertengahan juga mengangkat (kembali) derajat/kehormatannya sebagai arketip purba: perempuan/betina sebagai simbol embrio hayati. Peradaban di berbagai belahan dunia ribuan tahun lampau memuja-memuja Dewi Ibu (Mother Goddess) sebagai simbolisasi kesuburan. Hal itu pada awal Renaissance diwujudkan dalam nafas seni rupa realistik dan romantik yang menghanyutkan manusia terhadap nilai-nilai keimanan Kristiani melalui pengkudusan/pengkultusan karya seni sebagai obyektifikasi Perawan Maria –selain Yesus atau para santo. Para petani bahkan sampai bersimpuh ketika karya artisan diarak di desa-desa. Kondisi itu dijadikan contoh oleh Walter Benjamin dalam tulisannya The Work of Art at the Age of Mechanical Reproduction, bahwa cahaya religiusitas masa itu dalam konteks seni modern adalah –menjadi– post-auratic. Maksud cahaya religiusitas dalam seni pra-modern di sini adalah adanya pembubuhan nimbus (cahaya) dengan sifat-sifat yang mirip manusia, mengandung: aura.

Namun dikatakan Benjamin, auratika itu pada akhirnya gugus juga oleh arus zaman modern ketika karya seni rupa para artisan yang dinilai religius harus terpisahkan dari lingkungan sosio-hitorisnya. Benjamin juga mengatakan, aura merupakan gejala unik sebuah distansi yang dimiliki objek historis atau alamiah. Penjelasan terbaik yang diberikannya diilustrasikan dengan merujuk pada aura yang dimiliki oleh objek alamiah. Dalam bahasa Benjamin: “If, while resting on a summer afternoon, you follow with your eyes a mountain range on the horizon or a branch which casts its shadow over you, you experience the aura of those mountains, of that branch.” (Benjamin, 1982: 224 -225). Itulah aura yang ia maksudkan. Dalam masyarakat industri/kapitalisme kekuatan pancaran aura estetik akan lenyap karena kegiatan reproduksi dimaknai sebagai kegiatan teknis belaka untuk mengejar tujuan ekonomi-modal.

Tidak mengherankan jika ada pelukis yang mengalami masa-masa awal post-auratic ini begitu gegar dengan pandangan sosial (baca: pasar) terhadap karya-karyanya. Kegegaran itu dialami Vincent van Gogh yang menilai pasar (baca juga: uang) akan membuat prospek seni(nya) menjadi gelap. Pada 1890 ia bunuh diri dengan menembak perutnya. Sebelum membunuh diri, ia melukis karya terakhirnya Crows in a Wheatfield. Burung-burung gagak yang berterbangan di ladang gandum adalah simbol emosinya atas kematian seni (gagak sebagai penandanya) yang digilas oleh kapitalisme pasar (gandum sebagai penandanya) dan –akhirnya– ia memilih untuk mati saja.

Awam mungkin menganggap gila van Gogh yang memang berjiwa aneh itu. Tapi, alam berkesenian masa-masa post-auratic yang memunculkan kegoncangan emosional –mungkin segelintir– artisan, bahwa seni tidak bisa diukur dengan uang dengan pasar sebagai katalisatornya. Hanya sayang, van Gogh tidak membaca bahwa zaman saat itu tengah berubah; pandangan manusia akan kadar religiusitas seni pun tidak seperti yang silam. Maka itu, pada awal abad ke-20, selain diiringi munculnya aliran-aliran baru dalam seni rupa sebagai sebentuk respon terhadap aliran klasik, seniman pun beradaptasi dengan kondisi nilai seni yang berjalan dalam jalur pasar. Dan aura akan terus menubuh dalam seni rupa dengan wujud lain, tentunya…

Benjamin mungkin ada benarnya menyebut masa-masa redupnya cahaya sakral dalam seni modern dengan membuka album auratic seni di Eropa masa pertengahan. Tapi, ia luput, bahwa apapun kondisi zamannya, aura tetaplah mengendap dalam segenap seni rupa meski bertumpuk dengan kepentingan pasar sekalipun. Goenawan Mohamad (2005: 432) menimpali “cahaya profan” Benjamin sebenarnya merupakan “kwasi-auratik.” Ditimpali demikian, sebab setiap karya seni itu memiliki wibawa yang tidak bisa dimiliki banyak/sembarang orang, maka itu Goenawan sebut sebagai “harta oligarkik.” Wibawa itu sendiri muncul dan tumbuh dari penyebaran informasi, sosialisasi simbol, dan hegemoni citarasa.

Dus, akhirnya ini soal pemaknaan saja yang menjadi lain. Menyoal pemaknaan ini, Benjamin (dalam Saptawasana & Cahyadi, 2005: 35) menyebut konsep flâneur untuk membaca: diikatnya manusia oleh kondisi yang melayang-layang dalam kerumunan fenomena industrialisasi. Akhirnya, ia maksudkan, tidak ada jati diri/matinya manusia menikmati kesenian.

Tentu saja kupasan jejak kesenian masa pra-modern dan modern ini beralasan untuk membaca aura kesenian Jeihan. Paras-paras wanita dengan tatapan hitam, kosong yang misterius dalam karya Jeihan seakan menarik jika dibenturkan dengan filosofi seni di Eropa Abad Pertengahan yang memuat cahaya religiusitas sebagai esensinya memantulkan kekudusan dan kejelitaan paras Perawan Maria dengan senyum simpul yang meneduhkan siapapun memandang. Mereka memancarkan aura. Dan aura itu seperti dibilang Raphael berasal dari alam pikiran si pelukis.

Tapi, ada warna lain di balik muatan filosofi karya Jeihan. Banyak perempuan yang menjadi obyek lukisannya tampaknya berlandas pada kata-katanya, bahwa “pada akhirnya kita ini akan kembali ke pembelahan diri,tidak perlu seks lagi. Plasma yang berkembang biak melalui pembelahan diri, sebenarnya bersifat perempuan…lelaki itu mengandung keperempuanan. Kehidupan ini dimulai dari ‘perempuan’ yang tanpa seks dapat membelah dirinya dalam regenerasi.” (Sumardjo, t.th.: 12). Ini menandakan perhatian dan penghormatan Jeihan yang lebih terhadap perempuan. Namun, ia bukan bicara soal kesucian seperti halnya figurasi Perawan Maria, pandangan-pandangannya pun ada yang memantulkan sarkasme dan juga kegelisahan terhadap garis kehidupan perempuan masa sekarang.

Maka itu, selain kekuatan filosofi kata-katanya memandang keperempuanan itu, juga dikemas bersama kekuatan aura seni dalam setiap lukisannya yang memendam misteri, terpermanai dalam: mata hitam. Sebuah pandangan yang barangkali refleksi terhadap dirinya sendiri dan diri-diri manusia lainnya berada dan berkelindan dalam arus kehidupan.

Dan Jeihan boleh dikatakan tidak masuk dalam konsepsi flâneur-nya Benjamin. Jeihan tidak terombang-ambing dalam pergantian kondisi yang melayang-layang; ia tidak teracuni untuk tergoda membuka misteri mata hitamnya. Tampaknya ia membiarkan para penikmat/pemandang karyanya untuk bertanya-tanya: ada apa di balik mata hitam itu? Dalam puisi mBeling-nya, Mata (Jeihan, 2000: 39), si pasien yang penglihatannya diuji dokter mata untuk membaca teks: ZAMAN KITA, malah dibaca si pasien dengan: ZAMAN GILA, tampaknya sebuah alegori Jeihan terhadap indera penglihatan manusia yang sudah ‘rabun’ dalam memandang kegilaan-kegilaan hidup di tengah arus zaman sekarang.

Boleh dikatakan sebagai hal yang unik dan menarik. Tapi, filosofi di balik itu begitu dalamnya. Seperti dikatakan Jeihan, perihal kemenarikan itu ada pada perbedaan-perbedaan yang penuh warna. Hitam dan putih merupakan inti warnanya. Hitam sebagai kosong warna, warna kematian, penghapusan, peniadaan, kosong; dan putih adalah sumber warna-warna, yaitu isi dunia ini: kehidupan, pertumbuhan, kelahiran, penjabaran, isi... (Jeihan dalam Sumardjo, t.th: 5).

Dengan begitu, religiusitas Jeihan begitu kental sekali dalam filosofi warna hitam-putih yang mengingatkan pada konsepsi lingkaran Yang dan Yin dalam tamaddun Tiongkok. Lingkaran seluruhnya dalam konsepsi Yang dan Yin berarti alam raya. Bagian yang terang adalah Yang dan yang gelap, Yin. Semua yang ada di dunia ini dibuat dari Yang dan Yin. Jika tak ada terang dan gelap, maka kita tak akan dapat melihat apa-apa (Seeger, 1951: 49 – 50). Harmonisasi antara alam terang dan gelap itu tampak(nya) hidup dalam religiusitas Jeihan dan ketika dibenturkan dengan karya seninya menjadi begitu subtil dimaknai dengan perenungan, tidak sekedar untuk dinikmati/dipandang. Di situlah letak kekuatan auranya. Obyek yang dikatakan memancarkan aura, sehingga Jeihan ingin melukisnya, sebenarnya –dan hakikatnya– nimbus itu berasal dari nafsi dan milieu Jeihan yang berjejal dengan nilai-nilai religiusitasnya, sebagai pribadi muslim yang ta’at.

Pandangan hidup pelukis semacam ini tentu melebihi penghargaan nominal mata uang atas karya-karya yang dibandrol ratusan juta atau miliar rupiah sekalipun. Pun, pandangan hidup seorang artisan jugalah yang menjadi semacam variabel: pasar menghargai lukisan itu begitu mahal. Sebab bukan hanya aura yang dipancarkan lukisannya, tapi pancaran aura sang artisan jugalah yang membuatnya begitu bernilai: mahal.

Sebatas pembacaan mata yang hitam tertuang dalam tulisan ini, puisi Jeihan karya Taufiq Ismail bolehlah kiranya dipakai untuk membaca misteri di balik aura warna dan hitamnya mata dalam karya-karya Jeihan:


yang kau apungkan siapa
yang kutimbang
warna.

yang kau gariskan bayang
yang kutanyakan, masih saja
mata.



Jatinangor, November 2009


Rujukan

Benjamin, Walter. 1982. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations. London: Fontana

Frances & Joseph Gies. 1978. Women in the Middle Ages; the Lives of Real Women in a Vibrant Age of Transition. New York: Harper & Row.

Jeihan. 2000. Mata mBeling Jeihan. Jakarta: Grasindo.

Mohamad, Goenawan. 2005. “Tentang Seni dan Pasar” dalam Setelah Revolusi tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.

Saptawasana, Bima & Haryanto Cahyadi. 2005. “Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi; Diteropong dari Perspektif para Eksponen Neo-Marxisme” dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Jakarta: Kanisius.

Sumardjo, Jakob. t.th. Sajak Filsafat Jeihan. Bandung: Jeihan Institute.

Seeger, Elizabeth. 1951. Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang. Djakarta: J.B. Wolters.

Wallbank, T. Walter & Alastair M. Taylor. 1949. Civilization Past and Present. New York: Scott, Foresman, and Company.

Webster's New World Dictionary (3rd College Edition)

Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.