Sep 30, 2010

Pendidikan yang Kebas



Fadly Rahman

All in all it's just another brick in the wall.
All in all you're just another brick in the wall.

(Another Brick in the Wall, Pink Floyd)

I can't explain you would not understand
this is not how I am.
I have become comfortably numb.

(Comfortably Numb, Pink Floyd)

Setiap tahun penerimaan peserta didik baru digelar di berbagai sekolah hingga pendidikan tinggi. Calon peserta didik bergelombang masuk ke sekolah pilihannya. Di dunia barunya, mereka telah dinanti para kakak seniornya yang telah lama menyiapkan agenda “orientasi pengenalan kampus”. Bagaimanapun sebutan itu lebih dipakai sebagai sebentuk eufemisme menyamarkan prosesi penerimaan pendatang baru untuk diinisiasi secara resmi melalui wajah-wajah berlagak suram, ketus, bahkan keras hanya untuk bisa masuk menjadi bagian “keluarga” barunya. Peserta didik yang tidak mengikuti inisiasi, hanya akan disisihkan dari “keluarganya”, bahkan oleh rekan-rekan seangkatannya sekalipun. Mereka yang tidak turut dalam inisiasi dianggap tidak ambil bagian dalam “keluarga barunya”. Tampak, jejaring kroni dalam unit kecil (baca: sekolah) terlembaga; dan kelak membuat individu tidak merdeka –tanpa disadarinya– namun merasa aman, nyaman untuk bergantung dan mengelompok dalam “keluarganya”.

Melihat pemandangan inisiasi annual ini saya selalu terngiang dengan lantunan lirik lawas lagu Pink Floyd sebagaimana avant propos di atas. Bukan cuma lirik, namun juga mengingat gambaran suram dalam klip videonya. Dalam Another Brick in the Wall itu, ruang pendidikan dialegorikan sebagai “tembok kekuasaan” yang ditempati peserta didik, sedari mereka masuk hingga tamat studi. Suatu kondisi yang membuat mereka tidak mampu bersuara (baca: berpendapat) secara individu; biasanya kelantangan bersuara –yang menggerumut– baru ke luar ketika mengelompok. Fragmen video juga menampilkan wajah pendidikan seolah “pabrik” pencetak barang-barang produksi. Sebagian besar dari peserta didik masuk hingga tamat sekolah dalam keseragaman pandangan dan tujuan: untuk apa menjalani –bukan menghayati– pendidikan?

Dalam lirik sarkasmenya, video itu menampilkan seorang guru galak berteriak pada murid-muridnya: “If you don't eat yer meat, you can't have any pudding. How can you have any pudding if you don't eat yer meat?.” Kata-kata “eat”, “meat”, dan “pudding” merupakan aksentuasi Roger Waters dkk yang bersatir pada realitas “pendidikan” sebagai “makanan” yang harus “dimakan” murid untuk kelak bisa mendapatkan “kue” semisal status sosial, okupasi, atau ekonomi. Murid-murid menerima saja; dan bukanlah pada tempatnya mengkritik atau protes atas segala bentuk keganjilan pendidikan yang mendidik mereka. Ditambah, kekritisan itu sendiri sudah dimati(rasa)kan.

Bagaimana bisa persepsi banal begini atas pendidikan bisa tumbuh? Bagaimana akarnya bisa merambat dalam dunia pendidikan?

Mestilah disadari, ranah pendidikan seringkali dibingkai oleh rupa-rupa “kekerasan”, salah satunya didapati dalam tradisi ospek, berupa perlakuan senior terhadap juniornya; entah itu pedandanan atribut konyol, bentakan, caci maki, hingga kontak fisik. Meski acapkali jatuh korban jiwa, celakanya tradisi ini masih tetap lestari; dan sekalipun terjadi insiden, dengan beralaskan citra “keluarganya” (baca: lembaga), noda kekerasan pun ditutup-tutupi.

Kekerasan seolah dikondisikan untuk “dinikmati”, hingga akhirnya diwariskan secara generatif menjadi seakan “mati rasa”. Dan kekebasan ini sebenarnya adalah wajah feodal dunia pendidikan kita yang bibitnya tumbuh sejak peserta didik menjalani proses perpeloncoan. Tanpa disadari, tradisi ini berkembang tumbuh, hatta menubuhkan mental-mental feodal gaya baru berupa hubungan patron-client dalam ruang-ruang pendidikan, bahkan mentalnya memagut dan berpengaruh hingga ke luar ruang itu.

Benarkah neo-feodalisme itu ada? Jika iya, bagaimana bisa semua ini terjadi jalin-menjalin? Jelas, sekalipun berbalut pendidikan berwajah modern, jika meminjam telaah Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya Pahlawan-Pahlawan Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik (2001), mentalitas neo-feodal ini merupa hubungan “bapak-anak” yang menggejala di Indonesia pascakolonial. Potret korupsi, kolusi, nepotisme, dan kroni gaya Orde Baru dibongkarnya untuk menampilkan buah dari hubungan “si bapak” yang “mengayomi” dan “si anak” yang “diayominya.” Sasaki sangat bagus mengungkapkan biang keladi semua itu beraras pada gaya kroni Orde Baru yang jelas-jelas dan gamblang diakui Soeharto bahwa kekuasaannya mengadopsi konsep Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tuladha-nya Taman Siswa gagasan Soewardi Soeryaningrat. Soewardi atau dikenal Ki Hajar Dewantara adalah bapak/penggagas pendidikan nasional yang mengenalkan konsep “kekeluargaan” dalam lembaga pendidikan Taman Siswa-nya.

Hubungan “keluarga” tanpa landasan pertalian darah ini secara politis dipakai (baca: dimanfaatkan) dalam kroni Orde Baru untuk “mengayomi”, “membangun”, dan “memberi teladan” anak-anak buahnya. Dalam riwayat politik Orde Baru, “anak” yang bersimpang jalan dengan si “bapak” disisihkan, diasingkan, dibungkam, hingga dibuang. Dan nyata, prinsip ini juga berlaku dan membaku tanpa disadari dalam mental –sebagian ciri– lingkungan pendidikan sebagaimana jejaringnya diungkap secara sistematis oleh Sasaki. Buku Sasaki ini juga patut menjadi cermin untuk menelaah tradisi ospek yang meski disadari “feodal”, tapi mengapa selalu dikondisikan ada dan begitu sulit dihapuskan? Barangkali sama jawabnya dengan lirik lagu Pink Floyd lainnya, Comfortably Numb, bahwa mereka yang terlibat di dalamnya sendiri seolah tidak dapat menjelaskannya; pun mereka sendiri sulit mengerti mengapa dirinya bermental begitu? Mereka sudah menjadi “mati rasa” dalam “kenyamanan” kuasa dan kekerasan dunia pendidikan.

Kekebasanlah yang telah membuat nyaman kekuasaan dan kekerasan. Dan tanpa sadar itu memenjara kebebasan intelektual peserta didik, sebagaimana dalam Summerhill (1968), pedagog A.S. Neill mengatakan bahwa “memaksakan apa pun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apa pun sampai ia mampu berpendapat dengan pendapatnya sendiri, bahwa itulah yang harus dilakukan.” Yang diperlukan hanya “kebebasan”, bukan justru merawat “kekebasan” intelektual.

No comments: