Showing posts with label Story Behind Foodways. Show all posts
Showing posts with label Story Behind Foodways. Show all posts

May 16, 2010

Kisah di Balik Warung Tegal


Warung Tegal (selanjutnya saya singkat Warteg) adalah salah satu tipe warung makan yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, terutama melekat di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Harga yang murah dan penyajian yang sederhana merupakan ciri khas yang menjadi faktor utama mengapa warteg lebih melekat di kalangan masyarakat tersebut. Sepiring nasi penuh, sepotong daging ayam, dan kuah sayur, misalnya, dapat kita bayar hanya dengan harga Rp7000,-. Jika dibandingkan dengan restoran Padang, harga menu makan di warteg lebih murah. Warteg boleh jadi sudah menjamah berbagai daerah. Tidak sedikit para pemilik warung ini yang sukses.

Penyajian di warteg begitu sederhana, yaitu dengan menata makanan secara prasmanan, sehingga kita dapat mengambil sendiri pilihan hidangan; ada juga model memilih menu hidangan dengan cara diambilkan oleh pelayan (bisa ibu Sri lihat dalam lampiran foto). Adapun hidangan yang disajikan di warteg bervariasi dan sederhana, terdiri dari: sayur-sayuran (seperti sayur tahu, sayur kacang merah, dan soto), lauk pauk (tempe, tahu, perkedel, goreng-gorengan, goreng ayam, goreng ikan, remis, dan jeroan ayam), urab dan sebagainya. Makanan yang disajikan di warteg didominasi oleh hidangan Jawa. Maklum saja, yang mempunyai usaha warteg adalah orang-orang Tegal yang merantau di kota-kota besar, terutama di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, Bandung; Semarang, Solo, dan beberapa daerah lain.

Tegal sendiri adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di wilayah Pantura (Pantai Utara) dengan kota Slawi sebagai ibukota kabupatennya. Uniknya, di wilayah Tegal sendiri –menurut penuturan pengusaha warteg—, sulit menemukan warteg. Hanya ada beberapa warung di jalan utama. Itu saja tidak sesemarak di luar daerah Tegal. Warteg cukup potensial di luar daerah. Pasalnya, warteg bisa tumbuh dan berkembang ketika berada di lingkungan atau di kawasan industri di kota-kota besar. Apakah mungkin di wilayah Tegal sendiri dibentuk sentra warteg? Kemungkinan itu tampaknya kecil. Hal ini disebabkan karena kebanyakan warga Tegal bukan pendatang. Jadi, kalaupun mendirikan usaha warteg, kemungkinan untuk laris sangatlah kecil.

Meski demikian, tidak ada sumber yang pasti, bagaimana bermulanya usaha warteg ini di daerah-daerah yang saya sebutkan di atas. Namun, diperkirakan eksistensi warteg mulai berkembang pada kurun tahun 1970-an ketika arus urbanisasi besar-besaran mulai terjadi di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Pendorong utamanya, jelas, bahwa orang-orang Tegal yang merantau memandang kota-kota besar, seperti Jakarta dan sekitarnya merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Mereka pun menamakan warung nasi-nya dengan nama “warung Tegal”, karena memang dimiliki oleh orang-orang Tegal. Hampir seluruh usaha rumah makan tersebut di wilayah manapun diberi label “warteg”. Ini bukan bisnis franchise, tapi istilah warteg itu sendiri memang betul-betul sudah menjadi brand image atau dengan kata lain sudah menjadi istilah yang merakyat di mata masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tidak perlu aturan untuk meminta izin jika mendirikan rumah makan dengan nama “warteg”, karena siapapun dapat dan boleh memakai label “warteg” tersebut untuk menjalankan usahanya. Sehingga dengan “warteg” ini pula, hubungan kaum perantauan dari Tegal ini dapat terjalin dengan baik sebagai sesama pengusaha seprofesi. Oleh karena itu, para pengusaha warteg ini pun mempunyai inisiatif untuk mendirikan perhimpunan kowarteg (Koperasi warung Tegal) yang bertujuan untuk menjalin kerjasama dan membantu anggota-nya melalui wadah koperasi tersebut.

Banyaknya pendatang dari daerah ke Jakarta tentu menjadi alasan utama mengapa warteg makin bertambah jumlahnya dan makin kuat eksistensinya. Dalam arti, banyak dari mereka yang bekerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, tukang becak, sopir bus, dan profesi blue collar lainnya yang umumnya berpenghasilan rendah. Penghasilan yang rendah dan keberadaan warteg sudah pasti dihubungkan dengan kemampuan finansial untuk mencari biaya makan yang murah. Maklum saja, biaya hidup di kota-kota besar begitu tinggi. Sehingga dengan kondisi demikian, warteg menjadi solusi tersendiri bagi kaum ekonomi menengah ke bawah untuk menikmati makan yang murah meriah.

Selain itu, target konsumen mereka adalah para mahasiswa daerah yang indekos. Tidak heran kalau di daerah kampus, warteg dapat dicari dengan mudah. Ketika saya masih berkuliah di Bandung, warteg memang menjadi tempat makan yang selalu penuh dengan mahasiswa, terutama ketika jam makan siang. Kiriman uang dari orangtua yang terbatas menjadi alasan utama, mengapa para mahasiswa memilih warteg.

Warga Tegal memang lebih suka menjadi wira swasta, sebagian besar membuka usaha warteg yang tergabung dalam perhimpunan Kowarteg (Koperasi Warung Tegal). Jika melihat sekilas usaha warung nasi yang dilakoni kaum perantauan dari Tegal ini, mungkin tidak pernah terlintas di benak kita, bagaimana kehidupan mereka di kampung halamannya. Saya malah pernah berpikiran, bahwa mereka yang mengais rizki di daerah lain mungkin adalah orang yang kehidupannya susah di kampung, sehingga dengan membuka usaha warteg ini setidaknya mereka dapat menafkahi mereka dan keluarganya di kampung halaman.

Ternyata pikiran saya itu meleset. Bukan hanya sekedar untuk menafkahi keluarga mereka, namun kesuksesan mereka ternyata layak diacungi jempol. Meski rata-rata berpendidikan rendah, kekayaan mereka di tanah rantau sebagai pedagang warteg tidak boleh dianggap remeh. Setiap pulang kampung, umumnya pada saat hari raya Lebaran, para pengusaha warteg ini tak pernah lupa menyumbangkan uangnya, untuk membangun dusun atau desa masing-masing. Suasana ramai pun tampak di rumah-rumah mewah (menurut ukuran warga Tegal, karena bertembok dan bertingkat) milik pengusaha warteg yang sukses di Jakarta.

Bahkan, keramaian itu sebenarnya sudah tampak dua hari sebelum Lebaran. Sebab, beberapa hari menjelang Lebaran warga yang sukses membagi-bagikan sembako (sembilan kebutuhan bahan pokok) dan uang kepada warga tidak mampu. Para pengusaha itu pun membuka pintu lebar-lebar pada saat Lebaran tiba. Selama masa masa mudik itulah ekonomi Kabupaten Tegal menjadi lebih semarak dan perputaran ekonomi menjadi lebih dinamis
Setelah mengantongi uang banyak dari bisnis warteg, banyak dari mereka yang membangun rumah besar di desanya. Meski demikian, rumah itu hanya dihuni kalau mereka pulang, ya itu tadi, saat Lebaran. Kalau hari-hari biasa banyak yang tanpa penghuni.

Itu sekilas rekaman kisah yang saya peroleh, baik dari pengalaman mengobrol dengan pemilik warteg ketika masih kuliah dulu; maupun informasi yang pernah saya baca dari media massa yang mengulas tentang bisnis warteg. Mereka memang memiliki jiwa yang ulet, kreatif, dan mandiri, sehingga dapat meraih kesuksesan seperti yang sudah saya kisahkan tadi. Bahkan, Pemerintah Daerah Tegal pernah mempunyai rencana untuk mengutip Rp. 1000,- kepada tiap-tiap pengusaha warteg yang tersebar ribuan jumlahnya di luar kota. Kalau program ini dilaksanakan, jutaan rupiah tiap bulannya dapat mengucur ke kantong pemerintah daerah Tegal untuk membangun desa-desa terpencil. Hal itu menjadi sebuah ukuran begitu pentingnya peranan pengusaha warteg ini.

Makanan Khas

Mengenai makanan khas yang ada di warteg, kalau menurut saya, tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang istimewa ini maksudnya karena sudah begitu umum dikenal oleh khalayak masyarakat. Variasi menu hidangan yang tersedia di warteg, memang didominasi oleh cita rasa makanan Jawa Tengah-an yang mempunyai ciri khas santan di beberapa hidangan berkuahnya, namun tidak bercita rasa pedas, seperti halnya hidangan asal Sumatera.

Tapi, kalau berbicara makanan khas Tegal, walau agak menyimpang sedikit dari warteg, saya ingin menyampaikan beberapa jenisnya. Tegal memiliki beberapa jenis “koleksi” kuliner berupa makanan dan minuman khas. Misalnya: teh poci yaitu teh diseduh dalam poci tanah liat kecil dan diminum dengan gula batu, sehingga ada istilah teh poci “wasgitel” kepanjangan dari kata: wangi, panas, sepet, legi, lan (lan dalam bahasa Indonesia berarti kental). Tegal hingga saat ini dikenal sebagai sentra penghasil teh. Teh dijarangi pada poci tanah (teh poci) kemudian dituang ke dalam cangkir dengan pemanis gula batu. Teh dalam cangkir tidak diaduk, sehingga rasa manis ditemukan pada saat isi teh dalam cangkir hampir habis. Hal ini menyebabkan cangkir terus dituangi. Selain teh poci, juga ada aneka jenis makanan seperti yang terdapat dalam buku resep masakan Jawa Tengah berikut ini:

• Sate Tegal (sate kambing muda khas Tegal dengan bumbu sambal kecap), dan sate bebek majir;
• Kupat atau ketupat glabed, kupat blengong (kupat glabed dengan daging blengong. Blengong yaitu keturunan hasil perkawinan bebek dan angsa), dan kupat bongko (ketupat dengan sayur tempe yang telah diasamkan);
• Nasi ponggol, dan nasi bogana (nasi megono),
• Sauto (soto ayam atau babat khas Tegal dengan bumbu tauco dan tauge), dan tahu plethok.
• Mendoan, yaitu tempe goreng yang dilapis tepung dengan bumbu. digoreng tidak kering. Biasanya sebagai teman minum teh poci, dihidangkan dengan sambal.
• Sega Lengko - nasi lengko: adalah nasi dengan bahan pelengkap seperti tempe, tahu yang diiris dadu, toge, dan sambal kacang serta kerupuk.
• Tahu aci: Tahu dengan tepung aci (kanji atau sagu) kemudian digoreng.
• Kemronyos, yaitu sate khas Tegal
• Pilus: makanan kecil (snack) dari tepung terigu.

Memang, makanan yang saya sebutkan di atas tidak semua identik dengan hidangan warteg, namun kadang ada warteg yang menyediakan hidangan istimewa, seperti Soto Tegal dengan memesannya terlebih dahulu. Paling yang mudah dihidangkan dan selalu tersedia adalah tempe mendoan. Adapun jenis makanan khas Tegal bisa ditemukan di rumah makan Jawa Tengah, karena pada dasarnya jenis makanan Tegal –seperti halnya Cirebon— merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari koleksi kuliner Jawa Tengah.

Picture Source: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3508

Menelusuri Kebiasaan Makan Daging Babi di Bali


Berawal dari pandangan umum bahwa makanan di setiap wilayah tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor penting, yaitu iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat. Di Indonesia, peta kuliner sangat beragam dan menarik. Selain tiga faktor di atas, saya yakin ada hal yang melatarbelakangi perkembangan budaya makan yang terkait dengan aspek-aspek historis, di samping kultur masyarakat. Selalu muncul pertanyaan yang menggelitik, mengapa suatu jenis makanan atau suatu raw material begitu identik dengan suatu kawasan tertentu.

Bali menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang saya pandang unik dan menarik, karena –mungkin— selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan budaya, khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian besar orang luar Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba mencicipi masakan Bali yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar yang mengkombinasikan gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi mungkin tampaknya telah memberikan prediksi yang kuat pada masyarakat luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat wisata ini untuk tidak mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, saya memandang, untuk konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih lagi bagi umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan tidak boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai konsumsi daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat Bali.


Orang Bali
Awal sejarah Bali tidak dapat dilepaskan dari asal-usul dan evolusi masyarakatnya. Orang Bali diduga memiliki darah campuran Mongoloid yang bergerak ke pulau utama menuju kawasan Asia Tenggara, jauh sebelum masa sejarah. Pengaruh asing terbesar bagi orang Bali awalnya dibawa oleh orang-orang India (pedagang dan pelancong) yang membawa serta pengaruh ajaran Hindu. Bali kemudian berbagi sangat banyak dalam gelombang Indianisasi yang menyebar di hampir banyak kawasan Asia Tenggara di paruh akhir milenium pertama.

Hinduisasi di Bali merupakan sebuah proses yang berlangsung berabad-abad. Pengaruh yang paling meresap ternyata bukan dari India saja, namun ternyata lebih dekat ke Jawa, yang sebenarnya lebih dahulu terkena proses Indianisasi dibandingkan Bali. Pada tahun 1001 (atau mungkin 991), Bali telah sepenuhnya terkena proses Hinduisasi. Pada masa kekuasaan Airlangga, Singasari amat memengaruhi Bali, baik secara politik maupun budaya. Namun hubungan itu bukan tanpa konflik. Orang-orang Bali beberapa kali menuntut otonomi mereka dari kerajaan Singasari. Bahkan, ketika kekuasaan beralih ke tangan Majapahit, tuntutan itu masih terjadi. Akhirnya, tuntutan itu terwujud ketika kekuasaan Majapahit berakhir pada tahun 1515. Bali kemudian memiliki otonomi untuk mengatur urusan dalam negerinya.

Pada periode Majapahit, sejarah Bali mulai jelas memuat dan memiliki pola, meski banyak menyisakan legenda-legenda. Jatuhnya Majapahit menandai bangkitnya Mataram yang merupakan kerajaan bercorak Islam. Banyak dari ribuan pendeta, bangsawan, tentara, seniman, pengukir, yang berpindah dari Jawa ke Bali untuk menghindarkan diri mereka dari para penakluk muslim. Di Bali, mereka memberikan impuls yang kuat bagi pertumbuhan tradisi Hindu Jawa yang terdesak oleh kekuatan Islam. Fenomena migrasi ini kemudian menghasilkan terjadinya transfusi budaya yang besar di wilayah Bali. Selama kurang lebih 400 tahun, tanpa diganggu mereka hidup menetap di Bali dan memiliki keturunan.

Lantas, apa hubungan masa Hindu Jawa yang diwakili oleh kekuasaan Majapahit tersebut bagi budaya orang Bali, terutama berkaitan dengan kebiasaan makan mereka yang menjadikan babi sebagai konsumsi daging utama. Di sini saya tidak begitu sepakat dengan daging pilihan (meat of choice), karena saya lebih memandang daging babi lebih dari sekedar pilihan, namun menjadi suatu yang utama di kalangan masyarakat Bali.

Asal-Usul
Dalam kitab Nagarakrtagama (1365), babi disinggung sebagai salah satu jenis daging yang dihidangkan di Istana Majapahit, selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek. Selain itu, juga ada beberapa jenis daging lagi yang tidak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu, meskipun banyak digemari oleh rakyat biasa, seperti kodok, cacing, penyu, tikus, anjing. Banyak sekali pada masa itu orang-orang yang menggemari daging-daging ini. Agama Hindu tampaknya nyaris tidak berperan dalam mengekang sumber-sumber protein. Seorang Cina Muslim, Ma Huan, tercengang ketika melihat makanan orang Jawa bukan Islam yang dikatakannya sangat kotor dan buruk. Binatang-binatang seperti ular, semut, dan semua jenis serangga serta cacing menjadi bahan-bahan konsumsi. Selain Madura, Bali adalah wilayah pengekspor ternak ke Jawa pada abad ke-14 sebagaimana juga masih bertahan selama berabad-abad. Ternak-ternak seperti domba, biri-biri, kerbau, babi, unggas, dan anjing menjadi upeti yang dikirim ke Majapahit kala itu.

Berbagai jenis babi diperkirakan sudah ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara selama ribuan tahun dan diternakkan paling tidak sejak 3000 tahun S.M. Babi dianggap sebagai pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging dan merupakan sumber daging utama di wilayah-wilayah di mana Islam belum masuk. Orang Eropa berpendapat bahwa babi Asia Tenggara lebih sehat daripada babi di Eropa. Orang Islam kemudian mendorong peternakan kambing sebagai pengganti babi, meskipun kambing sudah ada (sebelum Islam) hingga sejauh Sulawesi, tapi belum sampai ke Filipina. Hanya di Bali, yang kepadatan penduduknya telah mengakibatkan pembabatan hutan yang tiada taranya, hewan-hewan Asia Tenggara diternak untuk dijadikan penghasil daging sapi tropis yang istimewa; meskipun setidaknya pada abad ke-19 orang Hindu Bali sendiri tidak bersedia memakannya. Maka wajar, jika hingga saat ini sapi putih tropis masih dianggap suci di Bali; sehingga babi menjadi salah satu bahan makanan alternatif.

Lantas, apa yang kemudian menjadikan babi sebagai daging konsumsi utama di kalangan masyarakat Bali? Hal ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran orang-orang Hindu Jawa yang bermigrasi ke Bali pascaruntuhnya kekuasaan Majapahit. Pada abad ke-16, ketika masa kekuasaan Raja Batu Renggong, orang-orang Bali mentransformasikan pengaruh-pengaruh Majapahit untuk disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Mereka menciptakan apa yang dalam kenyataannya sebagai budaya kontemporer Bali serta memberikan elemen-elemen khusus. Mereka juga membawa dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk didalamnya persoalan kebiasaan makan Di sisi lain, pengaruh agama dapat disimak dari pantangan untuk tidak memakan daging sapi putih sebagai suatu pantangan seperti halnya yang dianut oleh orang-orang Hindu-India. Tentu ini sebuah paradoks dengan orang-orang Islam yang berpantangan untuk tidak mengkonsumsi daging yang haram, babi. Bali adalah sebuah perkecualian yang memadukan nilai sejarah, budaya, dan keyakinan dalam unsur-unsur budaya makan mereka. Indikasi mengapa babi menjadi konsumsi utama masyarakat Bali dapat juga disimak dari dijadikannya hewan ternak ini sebagai komoditi utama, terutama sejak abad 19 hingga awal abad ke-20.

Pada kurun abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Babi adalah hewan ternak –selain lembu— yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga keluarga Bali. Hampir setiap kepala keluarga memiliki paling sedikit satu sapi dan beberapa ekor babi yang diperuntukkan untuk kebutuhan pribadi atau nantinya akan dijual ke pasar lokal dan juga ekspor. Pada tahun 1910, total ekspor babi dari selatan Bali mencapai 33.400 ekor. Babi yang dijual tiap ekornya dihargai fl. 20 (fl=florin, satuan mata uang zaman Belanda). Sebagai hewan domestik, sudah menjadi pertimbangan bahwa babi merupakan komoditi ekonomi sekaligus sebagai bahan makanan yang dikonsumsi.

Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar hewan komoditas. Di Bali, babi juga adalah hewan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan ritus. Seperti disinggung oleh ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, umumnya riwayat daging dalam kegiatan ritus di kawasan Asia Tenggara sudah menjadi suatu hal yang penting, sebagaimana orang Bali memandang daging babi dalam kegiatan ritusnya. Dijadikannya babi sebagai kegiatan ritus di Bali, salah satunya dapat disimak Dalam rekaman kisah seorang Amerika bernama Collin McPhee dalam bukunya A House in Bali (1947), ia mengisahkan dirinya ketika memberikan hadiah dua ekor babi dalam acara Galungan. Babi, tutur McPhee, merupakan chiefly food bagi sebagian besar masyarakat Bali. Ketika orang Bali merasa berhutang budi dalam suatu hal, maka hadiah atau balas budi diwujudkan dengan menyembelih seekor babi miliknya. McPhee mengatakan juga bahwa babi yang telah disembelih kadang dijadikan sebagai sebuah wujud untuk menyenangkan sesepuh desa.

Prosesi penyajian hidangan meriah dengan menu daging babi disaksikan McPhee sebagai berikut:

…meanwhile, other helpers were engaged in preparing the classic accompaniments: rice, of course; pepahit –a “bitter” dish of stewed blimbing leaves to counteract the richness of the pig; sausage, made form the pig’s blood and urab, a hash of finely mixed coconut, green papaya, the chopped liver, and the heart. At last, the pig was pronounced done to a turn. It was pleased on a banana leaf in along wooden platter. The skin was brittle as thin glass and the meat, perfumed beyond words from the spice, melted on tongue.

Bukan hanya dalam kegiatan ritus, babi sudah sejak lama menjadi semacam mitos yang melekat di lingkungan orang Bali. Sewaktu McPhee mengunjungi Kuil Kematian, ia menyaksikan relief-relief arkais yang menunjukkan manusia dikelilingi oleh banyak babi. Ada pula kisah Raja Badulu yang dikisahkan memiliki semacam topeng mengerikan, kombinasi mata manusia dan mulut dengan moncong dan taring babi hutan. Dikisahkan bahwa Raja Badulu terlahir memiliki kekuatan magis. Ketika kecil, Raja Badulu seringkali menghibur dirinya sendiri dengan memotong kepalanya dan meminta para pelayannya untuk memasangkan kembali kepala yang terpisah dari raganya itu. Suatu ketika, kepala raja menggelinding ke sungai dan terbawa arus. Para pelayan tidak mampu mendapatkan kembali kepala tuannya. Dalam rasa putus asa, mereka akhirnya memenggal kepala seekor babi hutan dan memasangkannya di leher sang raja…

Simpulannya, menilai keidentikkan babi dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Bali yang dihubungkaitkan dengan nilai-nilai budaya masa lalu tentu mengandung interpretasi yang masih cair. Namun, jika kembali kepada tiga faktor: iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat, kecairan penafsiran tersebut tampaknya dapat dipertimbangkan.

Pengaruh Cina?

Menyoal pengaruh Cina terhadap kuliner Bali, saya pikir tidak sebegitu jelas jika dibandingkan dengan makanan di Jawa, Jakarta, atau Pontianak yang coraknya masih dapat dirasakan. Hanya yang mengundang rasa penasaran, jika berpijak dari anggapan bahwa daging babi juga begitu identik dengan kuliner Cina, apakah ada pengaruh Cina dalam penggunaan daging babi di Bali? Di sini, saya tidak terlalu dapat berspekulasi, karena tidak ada satu pun referensi yang menyinggung pengaruh tersebut. Denys Lombard bahkan menyebut bahwa kebudayaan Cina di Pulau Bali jarang sekali disebut. Hal menarik yang disinggung Lombard adalah pengaruh Cina dalam aspek botani, yaitu tamanan buah leci (lizhi). Ya, buah yang dianggap sebagai tanaman asal “Kunlun” (sebutan dalam sumber-sumber kuno Cina bagi kawasan Maritim Asia Tenggara) itu ternyata sejak zaman Dinasti Han (202 S.M – 220 M) dijadikan sebagai upeti untuk dikirim ke istana; serta salah satu komoditi yang diekspor ke utara dan ke selatan. Buah leci yang jarang dan ternyata terdapat di Tabanan, Bali (selain di Cianjur, Jawa Barat), setidaknya menandakan kehadiran pengaruh Cina di pulau tersebut. Pun, tidak ketinggalan

Memang, secara geografis Bali terletak membentang sejauh satu mil dari kawasan timur Jawa di lintas perdagangan langsung antara kepulauan rempah-rempah di Maluku dan pelabuhan-pelabuhan Asia yang juga mendistribusikan rempah-rempah seperti cengkih, pala, dan pala kering. Kondisi geografis inilah yang membuat Bali pada masa emporium telah disinggahi oleh para pedagang dan musafir India, Arab, Cina, Jepang, Bugis, dan pedagang-pedagang timur lainnya yang bukan hanya membawa barang-barang niaga, namun juga tata cara dan kebiasaannya. Sekalipun Pulau Bali disinggahi dan dimukimi, orang-orang Bali lebih memilih untuk mempertahankan kultur mereka, dengan sedikit kemungkinan menerima pengaruh-pengaruh asing dalam kehidupan mereka.

Dengan berlandaskan pada kenyataan tersebut, di sini Willard A. Hanna menyinggung mengenai keberadaan orang-orang Cina di Bali terutama pada abad ke-19. Hanna tidak menyinggung kebudayaan material Cina yang berarti, selain kopeng (koin Cina berlubang) dan buah pinang yang disuka orang Bali tua dan muda. Lombard, Hanna, atau Kong Yuanzhi yang mengupas warisan kuliner Cina ini pun bahkan tidak menyinggung sama sekali wilayah Bali berkaitan dengan silang budaya Cina di di Nusantara. Mungkin Lombard benar, jarang disebutnya kebudayaan Cina menandakan agak kaburnya budaya Cina di pulau dewata tersebut.

Referensi

Hanna, Willard. 1991. Bali Profile: Peoples, Events, Circumstances (1001-1976). Banda Neira: Rumah Budaya Banda Neira.

Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: BIP.

Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.

McPhee, Collin. 1947. A House in Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Owen, Sri. 1999. Indonesian Regional Food and Cookery. London: Frances Lincoln.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (Jilid I: Tanah di Bawah Angin). Jakarta: Obor.

Stibbe, D.G. 1921. Enclopædie van Nederlandsch-Indië (jilid 4, subjek: voedingsmiddelen). ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Vuyk, Beb. 1987. Groot Indonesisch Kookboek. Utrecht: Uitgeverij Kosmos.

Feb 14, 2010

What is Gastronomy?



Etymologically, the word "gastronomy" is derived from Ancient Greek γαστήρ (gastér) "stomach", and νόμος (nómos) "knowledge" or "law".]. The first formal study of gastronomy is probably The Physiology of Taste by Jean Anthelme Brillat-Savarin (early 19th century). As opposed to the traditional cooking recipe books, it studies the relationship between the senses and food, treating enjoyment at the table as a science.

Gastronomy is the study of the relationship between culture and food. It is often thought erroneously that the term gastronomy refers exclusively to the art of cooking, but this is only a small part of this discipline; it cannot always be said that a cook is also a gourmet. Gastronomy studies various cultural components with food as its central axis. Thus it is related to the Fine Arts and Social Sciences, and even to the Natural Sciences in terms of the digestive system of the human body.

A gourmet's principal activities involve discovering, tasting, experiencing, researching, understanding and writing about foods. Gastronomy is therefore an interdisciplinary activity. Good observation will reveal that around the food, there exist dance, dramatic arts, painting, sculpture, literature, architecture, and music; in other words, the Fine Arts. But it also involves physics, mathematics, chemistry, biology, geology, agronomy, and also anthropology, history, philosophy, psychology, and sociology. The application of scientific knowledge to cooking and gastronomy has become known as molecular gastronomy.

What is Nyonya Food?



Nyonya (or Nonya) food is the food of the Baba-Nyonya that popular in Malaysia, Singapore, and some parts of Indonesia. Also known as ‘Peranakan’ cuisine. These groups of people are descendants of the very early Chinese immigrants to the Nanyang region (refers to the the Malay Peninsula and the islands of Java). The long-established community, the Peranakan, given for the early Chinese migrants to Malaysia, Singapore, and Indonesia were overwhelmingly male; understandably most of the peranakan had at least some indigenous antecedents. The more recently-arrived community was called totok, meaning ‘pure’ or ‘genuine’ (in the racial sense). This community had a more even gender balance, and it members tended to marry almost exclusively within it. The social and cultural members of the Peranakan community had developed a distinctive local culture characterized, for instance, by the use of Malay or another local language in everyday speech rather than a Chinese dialect and their food habits more characterized by indigenous foodstuff.

The history of Peranakan cuisine and culture can be traced back to the 15th century when Chinese traders entered the port of Malacca to sell silk and porcelain they brought from their country to traders from India and Arab countries. The origins of the Baba and Nyonya also could be traced all the way back to the Chinese Admiral explorer Cheng Ho and the followers, who sailed across the Indian Ocean more than 400 years ago. They in turn came seeking the famed spices of the region. Most of these spices were grown in Indonesia but Melaka (Malacca) was an important port and was the center of the spice trade. While waiting for a good wind to speed their way back to their homeland, the Chinese stayed in Malacca for several months, which led to marriages with local Malays, the women known as Nyonya and the men as Babas. The amalgamation of the two cultures is perceptible in every aspect of life, from the architectures, clothing and the cuisine in the Malaysian port cities. They are very Malay but their have Chinese ancestors. Although some aspects of the culture are disappearing as people marry outside, in Singapore, Malaysia and in some parts of Indonesia the elaborate dishes are still served in households by the wife, usually with help of other female members of the family.

Nyonya cooking in Malaysia originated among Chinese immigrants who settled in Malacca in the 15th century. Daughters of well-to-do Nyonya women were trained in household and cooking skills from early childhood. The cuisine uses chilies, shrimp paste, coconut milk, and aromatic roots and leaves as in the Malaysian and Indonesian traditions but also retains pork and noodles from its Chinese past. However, some historians argued that the inter-marriage was not necessarily the origin of the Baba-Nyonya culture, but argued that Nyonya is a basically a word used to describe a Chinese lady who has adopted the Malay dressing and cooking while maintaining the Chinese culture. As the blending of Malay and Chinese culinary influences which developed in the coastal port cities of Malaysia and Singapore, Nyonya cuisine is said to be fading in prevalence as people give in to grabbing a fast food meal on the run instead of cooking at home.

Regardless of the history and origins of Nyonya food, making Nyonya food is no simple affair; this unique and highly flavorful cuisine requires abundant amount of time, patience, skills, and does not know any exact measurements. But the ingredients are used in generous amounts. Many used agak-agak (adding each of the ingredients to taste, depending on experience and taste) to season the dishes. The key to authentic Nyonya dishes is firsthand experience in knowing how to use liberal amounts of ingredients. A true Nyonya would spend hours and hours pounding her rempah (spices) with Batu Giling (a flat slab of stone to grind the spices) to cook up authenthic Nyonya dishes such as Perut Ikan, Salted Fish Pineapple Curry (Gulai Kiam Hu Kut in Hokkien), and other scrumptious Nyonya concoctions.

The Nyonya cuisine offers dishes with unique flavors and aromas derived from the use of a wide range of aromatic Malay herbs and rempah-rempah (spices) with Chinese ingredients, like tofu and soya. Most dishes are based on mixing the spices, such as chilies, shallots, lemon grass, candlenuts, turmeric, and shrimp paste, into a paste. Most cooks still prefer to use the mortar and pestle to get the right consistency and flavor of the pounded spices. The popular ones of Nyonya dishes, including ayam buah keluak (chicken seasoned with keluak, a type of fruit), otak-otak (grilled fish cakes wrapped in banana leaves) and sambal udang (chili shrimps). Lumpia is the widely popular and variegated food roll in a thin flour wrapper contains a vegetable or pork spring. The local edition of the Malay is popiah. The noodle dishes, generically called pansit (Indonesian called it pangsit) from the Hokkien word for that which is quickly cooked, vary from region to region, indeed family to family, and cook to cook. Char kway teow is the most popular Malay-Singaporean noodle, but in the Philippines the most popular is pancit palabok, noodles shaken in water or broth and covered with a sauce of shrimp, pork, vegetables, bean curd, and sometimes squid, oysters, crumbled crackling, and flaked smoked fish. In Indonesia it may be mie jawa, which includes bakmie goreng (fried noodles) or bakmie godog (noodle soup), egg noodles with beef or pork, shrimp or prawns, carrots, bean sprouts, shallots, candlenuts, and other seasonings. The valued family tradition, the use of generations-old family recipes and the unique old way of cooking the elaborate meals are among reasons why Nyonya dishes are still served in ‘Straits Chinese’ homes in Malaysia and Singapore.

References:

Ella –Mei Wong & Indira Soetrisno. (n.d). Buku Resep Masakan Makanan Sederhana Indonesia & Malaysia. Jakarta: Intimedia.

Kong Yuanzhi. 1999. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: BIP.

Sinclair, Charles. 2005. Dictionary of Food; International Food and Cooking Terms From A to Z. London: A & C Black Publisher.

Vuyk, Beb. 1987. Groot Indonesisch Kookboek (Afgewisseld met Chinesse Recepten). Utrecht: Uitgeverij Kosmos.

“Masakan Nyonya” Nomor Tahunan Majalah Femina, edisi Nikmatnya Bernostalgia, 1983, p. 29 & 112.

Picture source: kyspeaks.com/photos2/poeny_garden_1.jpg