Mar 7, 2010

Memaknai (Gelar) Haji




Oleh: Fadly Rahman
(Dosen Sejarah di Unpad)

Di samping makna utamanya sebagai bagian dari rukun Islam yang dijalankan bagi mereka yang mampu secara spiritual, fisik, dan material; ibadah haji merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah dan tradisi masyarakat Islam Indonesia. Dalam >Hikayat Hasanuddin yang dikarang sekitar tahun 1700-an, dikisahkan ajakan naik haji Sunan Gunung Jati kepada putranya, Hasanuddin. Ajakan dalam hikayat tersebut menandakan bahwa berhaji sudah mentradisi sejak lampau di nusantara.

Kesan bahwa orang Indonesia yang lebih mementingkan haji daripada bangsa lain pun memang menjadi perhatian menarik sejak lama. Sebagaimana dicatat Martin van Bruinessen dari laporan The Haddj: Some of its Features and Functions in Indonesia -nya Jacob Vredenbregt (1962), pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah jamaah haji dari Hindia Belanda (baca: Indonesia masa kolonial) berkisar 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing meski mereka datang dari wilayah yang secara geografis lebih jauh daripada jamaah haji lainnya.

Malah, pada dasawarsa kedua abad ke-20, jumlahnya mencapai sekitar 40 persen dari keseluruhan jumlah jamaah haji. Tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji tampaknya menjadi sebab besarnya angka peziarah ke Tanah Suci itu. Hal ini juga merujuk pada atribut sosial, berupa pencitraan status penunai haji sebagai pribadi lain sesudah dirinya menunaikan salah satu bagian dari rukun Islam itu. Mungkin, semacam pengakuan yang ingin diperoleh setelah menunaikannya. Dan, pandangan macam ini pun memang menggejala sejak lama.

Pada masa abad ke-17, berziarah ke Makkah bagi umat Islam nusantara adalah seperti dikatakan Bruinessen semacam 'pengakuan politis' dan 'sumber ngelmu '. Dibilang begitu sebab para penguasa, seperti dari Banten dan Mataram, punya tradisi unik berziarah atau mengirimkan utusan ke Makkah untuk mencari dukungan supranatural dan meminta gelar sultan dari penguasa Jazirah Arab. Meski sebenarnya tidak ada lembaga resmi yang memberikan pengakuan, apalagi memberikan gelar kepada para utusan dari kerajaan nusantara; tujuan mencari pengakuan ini benar adanya. Mereka memandang syarif besar penguasa wilayah Haramain (Makkah dan Madinah) sebagai penguasa Darul Islam yang dapat memberi berkah melalui pemberian gelar sultan.

Maka itu, para penguasa Islam nusantara menyematkan secara mantap gelar sultan (seperti Sultan Agung dari Mataram atau Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji dari Banten). Penyematan gelar seusai menunaikan ibadah haji atau mengirimkan utusan ke Makkah tersebut adalah sebuah budaya yang saat itu melekat di nusantara. Hal semacam itu tidak pernah ditemukan dalam tradisi berhaji di Jazirah Arab sekalipun.

Dalam perkembangannya, pada masa kolonial, pandangan awam terhadap penunai ibadah haji juga memuat kesan agung itu, seperti didapati dari pengalaman Raden Adipati Aria Wiranatakoesoema dalam tulisannya Mijn Reis Naar Mekka (Perjalananku Menuju Makkah, 1925) sebagaimana disinggung Dien M Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008). Naik hajinya bupati Bandung itu adalah kesukacitaan tersendiri bagi rakyatnya yang tampak ketika mereka mengantar sang bupati hingga pintu kereta api. Rakyat memandang perjalanan(nya) ke Makkah sebagai perjuangan penuh tantangan dan bahaya, kecil harapan dapat bertemu lagi dengan si penunai ibadah haji apabila Sang Khalik berkehendak mengambilnya. Maka itu, kisah berhaji menjadi perjalanan yang penuh tantangan bagi penunainya.

Selain tantangan, nuansa berhaji masa kolonial sebagaimana dialami Adipati Aria kentara diliputi aspek dan prasangka politis pemerintah terhadap para haji. Sebabnya adalah gerakan Pan-Islamisme yang memunculkan kekhawatiran pemerintah atas berkembangnya pemikiran Islam modern di Hindia. Melalui andil segelintir haji, pemikiran Islam modern digunakan sebagai sarana melepaskan masyarakat dari jerat kolonialisme yang memiskinkan dan membodohkan.

Itulah mengapa, pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, fenomena gerakan sosial yang digerakkan para pemuka agama (haji atau kiai) merebak di berbagai daerah. Dengan penuh pertimbangan politis, pemerintah menerapkan Ordonansi 1859, sebuah pembatasan perjalanan dan monitoring aktivitas jamaah haji. Namun, meski ordonansi itu diterapkan, peran para haji tetap hidup dalam gerakan-gerakan sosial, seperti Arpan (Ciomas), Kasan Mukmin (Sidoarjo), Dermodjojo (Kediri), hingga Haji Misbach (Solo).

Wajar jika masa pergerakan nasional pada awal abad ke-20, atribut 'haji' seperti tersemat pada pelopor nasionalisme: Samanhudi, Agus Salim, dan Oemar Said Tjokroaminoto, sebenarnya lebih pada pengakuan bernuansa politis. Masyarakat masa itu memandang figur-figur haji itu sebagai penyumbang penting tumbuhnya nasionalisme.

Lalu, bagaimana dengan masa sekarang? Tentu, jika dibandingkan masa lalu, pemilik gelar haji masa kini betapa banyak jumlahnya. Namun, hal yang tetap mengakar adalah pencitraan terhadap ibadah haji sendiri secara sosial tetap beroperasi sebagai achieved status bagi si penunainya tentunya dengan konteks berbeda. Gelar haji dan hajjah dengan pencantuman inisial 'H' dan 'Hj' di awal nama seakan tradisi pengakuan yang terkonstruksi secara sosial (atau boleh jadi personal) memaknai haji sebagai serangkaian ibadah dengan gelar sebagai akhir dari pelaksanaannya. Ada yang, misalnya, nyaman membiarkan pencantuman gelar haji di awal nama pada kartu nama hingga kartu undangan pernikahan atau terselip di antara gelar-gelar akademik dan nama.

Barangkali, seperti halnya gelar akademik di mata orang Indonesia, yang dinilai Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (2000, Jilid I), memuat hubungan dengan status sosial; begitupun gelar haji. Secara ajaib, seakan membuka jalan menuju status 'kebangsawanan' baru. Panggilan 'pak haji' dan 'bu haji' sungguh merupakan fenomena sosial yang unik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Kebijakan pemerintah sekarang tentu memudahkan siapa pun yang mampu untuk menunaikan haji. Dan, jika berkaca pada figur haji masa silam, pengalaman berhaji masa kini akan lebih bermakna juga jika hakikatnya disalurkan secara sosial untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Hal ini sesuai yang disyariatkan Islam sebagai wujud 'hubungan manusia dengan manusia' ( hablumminannas ) nilai universalitas yang disukai Allah di samping hubungan dengan-Nya ( hablumminallah ) sebagai yang utama. Hakikatnya, tentu saja jauh melebihi sebatas atribut gelar.

(Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/92426/Memaknai_Gelar_Haji)
Picture Source: http://www.dhushara.com/book/sakina/haj/hajj2.htm)

Bandung yang (tidak lagi) Mooi























Kompas, October 22nd, 2008 Filed under: Opini by admin

Fadly Rahman

Bandung pernah populer –dan barangkali masih sayup terdengar– dengan julukan nan menggoda: Parijs van Java (Paris-nya Jawa); Mooi Bandoeng (Bandung yang Molek); Bandoeng Vooruit (Bandung Maju) dan beragam atribut bagus lainnya. Namun, layakkah kini beromantisasi dengan istilah-istilah bentukan masa lampau itu?

Memang betul, kolonialisme, apapun wujudnya adalah momok yang akan dikenang sebagai pengalaman kelam sejarah sebuah bangsa. Karena kolonialisme, hak dan kebebasan manusia terjajah. Tapi, karena kolonialisme pula identitas kita dibentuk menjadi individu-individu berkarakter khas yang boleh jadi masih mewujud meski kolonialisme itu sendiri telah berakhir, tanpa pernah kita sadari.

Bandung adalah tipikalisasi yang bagus sebagai sebuah produk kolonial. Atribut colonial city selayaknya disandang kota ini. Secara fisik, sisa-sisa warisan kolonial (colonial heritage) masih terlihat, misalnya dari bangunan-bangunan bergaya Indis. Tapi, dari segi mentifact? Sulit diraba dan dilihat; paling hanya bisa dicerna dari bagaimana warga kota itu sendiri memperlakukan identitas kotanya sebagai kota yang pernah berjaya dalam sejarahnya.

Secara dasariah, proyek besar kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa seperti dikatakan penyair Inggris kenamaan, Rudyard Kipling, adalah: “mengadabkan bangsa jajahannya.” The White Man Burden, begitu salah satu judul puisi Kipling. Ya, bangsa jajahan adalah “beban” bagi bangsa penjajah, “si kulit putih Eropa” untuk diadabkan. Istilah burden memang sepihak sekali, karena yang dijajah tidak pernah meminta diadabkan. Tapi, memang begitulah galibnya nasib bangsa yang dijajah, selalu dik/s/alahkan dan ditindas. Dan Barat memang akan selalu hegemonik, seperti halnya kita yang berpandangan cupet dalam mengakui segala produk Barat lebih bermutu dan modern.

Salah satu proyek kolonial dalam mengadabkan itu adalah “mendidik” bangsa pribumi, misalnya agar hidup bersih, rapi, higienis, dan disiplin. Meskipun dalam persoalan mengadabkan ini sebenarnya merupakan usaha para kolonialis sendiri dalam mendekonstruksi realita yang ada, setelah sebelumnya mereka pernah membentuknya.

Maksudnya, kolonialisme dengan segala elemennya tetap memandang pribumi sebagai manusia pemalas (luij) dan tidak tekun, seenaknya (ijverloos). Terlepas apakah kemalasan itu bawaan sejak lahir atau bukan, namun kurang lebih stigma semacam itu baru muncul pada abad ke-18 ketika usaha perkebunan mulai meluas dan kaum pribumi seperti para mandor Sunda dan bupati menolak untuk dikerahkan sebagai pengawas VOC (opzichter). Konon, penolakan ini kemudian dikonstruk dan dibakukan orang Barat saat itu menjadi pembenaran, bahwa pribumi itu luij dan ijverloos. Pun mereka pula berhasil menyisipkan gagasan tentang stigma tersebut dalam hierarki sosial hingga barangkali masih melekat hingga kini (?).

Bandung sendiri hingga akhir abad ke-19 tidak lebih sebuah paradise in exile, surga di pengasingan. Hampir tidak ada orang Eropa yang betah bertahan lama di “kampung” Bandung. Semua itu baru berubah pada awal abad ke-20 ketika Bandung mengalami kemajuan pesat, akibat berkembangnya jalur kereta api, serta makin meluasnya aktivitas di sektor perkebunan, pendidikan, dan niaga. Kala awal abad ke-20, Bandung menjadi salah satu proyek modernisasi pemerintah kolonial. Gedung-gedung bercorak art-deco karya Schoemaker bersaudara bertebaran di Kota Bandung. Tempat-tempat eksotis disulap menjadi kawasan wisata, tetirah bagi para pelancong, khususnya orang-orang Eropa. Pada era tahun 1920-an istilah Parijs van Java dan Mooi Bandoeng kiranya memang layak disematkan. Politik kolonial dengan segala propaganda modernisasinya menjadi avant garde bagi bersoleknya Bandung kala itu.

Langkah apa yang dilakukan oleh para eksponen modernisasi Bandung? Salah satunya adalah menciptakan suasana Bandung yang bersih, nyaman, dan sehat. Hal ini tentu sebuah upaya untuk menunjang Bandung sebagai kota wisata setelah resmi menjadi gemeente pada tahun 1906. Contohnya, dalam sebuah tulisan bertajuk De Hygiëne in Bandoeng en Omstreken (Higienitas di Bandung dan Wilayah Sekitarnya) dalam majalah Mooi Bandoeng tahun 1939, seorang pakar kesehatan Belanda, M.U. Thierfelder menyebut Bandung sebagai kota yang masih relatif muda. Maka itu, ia memprioritaskan manfaat kebersihan untuk kesehatan masyarakat Bandung, antara lain penampungan sampah, kamar mandi yang bersih, hingga makanan dan minuman yang higienis.

Pemerintah kolonial memang begitu apik menyoal sanitasi dan kerapian kota. Meskipun perkembangan kota Bandung ditandai dengan pembangunan gedung-gedung hyper-modern, para city planner kolonial tahu benar menciptakan ruang yang ideal bagi sebuah kota. “This is the city, and I am one of the citizens” begitu filofosi penyair Amerika Walt Whitman yang tampaknya cocok betul dalam jiwa orang Eropa. Buktinya, bisa dilihat dari kota-kota Eropa sekarang. Bagaimana komponen sejarah kota itu tetap dipertahankan, meski modernitas terus berjalan. Hal itu yang mungkin sebetulnya ingin dipertahankan oleh para perancang kota Bandung baheula untuk masa-masa kemudian. Hanya amat disayangkan, setelah kolonialisme hengkang, kota ini dihuni oleh manusia-manusia bermentalitas tidak menghargai bagaimana memperlakukan identitas kotanya. Bukan maksud saya, bahwa misi para kolonialis belum tuntas dalam “mengadabkan” bangsa pribumi. Tapi, sisi baik yang diterapkan para kolonialis itu, sayangnya tidak terwariskan.

Sebuah moto klasik berbunyi “kota adalah manusia-manusia penghuninya”, berarti juga menunjukkan seperti apa karakter warga sebuah kota. Jadi, amatlah disayangkan, jika warga Bandung tidak sadar akan potensi kota ini sebagai lokus wisata sejarah. Masalah sampah di kota Bandung adalah ciri betapa bebal warga dalam hal sadar bersih dan sehat, meski diberi instruksi dan penyuluhan apapun. Belum lagi city planning yang makin tidak karuan dengan gencarnya pembangunan mal-mal megah dan gigantis. Betul memang, hal itu sudah biasa di negeri ini. Tapi, apakah mungkin melepas stigmatisasi kolonial itu: ijverloos, seenaknya? Jika ternyata benar identitas dan karakter itu warisan kolonial, maka khawatirlah kita akan siapa yang menanggung beban mengadabkan ini? Jawabnya, tentu bukan lagi para agen kolonial, namun manusia Bandung sendiri.

Kiranya, sudilah dimaklumi jika tulisan ini terkesan memojokkan. Meski sebenarnya Bandung boleh berlega. Karena bukan hanya Bandung; kota-kota di Indonesia yang pernah disematkan julukan nan bagus pada masa kolonial juga tidak kalah bermasalahnya. Jakarta, misalnya, yang dahulu dikenal dengan julukan Batavia: Queen of the East dan Venezia van Oost kini tengah sibuk meratu dengan sampah-sampah kampanye Pilkada DKI di antara bentaran kalinya yang makin hitam pekat, bau, penuh sampah. Maka itu tanpa berat hati, saya tekankan, kelak, bakal tidak ada lagi romantisasi sejarah.

(Picture Source: anisavitri.wordpress.com/2009/07/10/ [left], www.panoramio.com/photo/8081709 [right])

Siapa (Sebenarnya) Mencipta Sunda?




Kompas, October 22nd, 2008 Filed under: Opini by admin

Fadly Rahman

Wacana yang mengemuka tentang penciptaan Sunda semula diangkat Gani A. Jaelani (24/2), bahwa Sunda dicipta Belanda dalam wujud identitas kebahasaan. Sedangkan Henry H. Loupias lewat tanggapannya “Sunda Bukan Dicipta Belanda” (15/3) malah membawa wacana kreasi Sunda ini dalam ranah yang melebar dan kurang bernas. Adapun Atep Kurnia menafsir Sunda (24/3) tidak lebih dari kesinisannya pada bagaimana Barat (Belanda) mencitrakan Timur (Sunda). Ketiganya masih bermuara pada ruas masalah: “Sunda dicipta.”

Jelas, untuk mempertegas Sunda, dalam karya monumentalnya Nusa Jawa: Silang Budaya; Batas-batas Pembaratan, Denys Lombard mesti terlebih dahulu mengkonsepsikan Jawa (secara geografis dan kultural). Pasalnya, dalam satu kesatuan geografis, hidup dua budaya besar, Jawa dan Sunda (selain Pesisir). Dan hakikatnya, secara kultur historis keduanya memiliki interaksi yang kuat. Jawa banyak memengaruhi unsur-unsur kesundaan, sehingga Jawa selalu menjadi bayang-bayang Sunda. Pascajatuhnya dominasi politik Mataram (1677) dan Priangan kemudian diserahkan kepada VOC (1705), maka mainstream mulai jelas mengarah pada pemisahan budaya: Jawa dan Sunda.

Rekayasa kolonial mencipta identitas Sunda konon disebabkan kekhawatiran mereka pada kekuatan Islam yang dapat menyatukan kekuatan di Jawa. Lewat para pakar sejarah, budaya, dan bahasa, pemerintah mengembangkan proyek Javanologi dan menyusul kemudian Sundanologi.

Syakwasangka Sunda terhadap Jawa terlahir dari embrio “pengetahuan sebagai kekuatan” ala kolonial. Itulah strategi yang mungkin ditanam di tengah rendahnya budaya tulis orang pribumi. Andaikata C.M. Pleyte dan N.J. Krom tidak menginventarisir laporan Dinas Kepurbakalaan (Oudheidkundigen Dienst) masa Hindu di Tatar Sunda, mungkin Sunda yang arkais seperti disinggung Atep, sekarang ini jalannya akan jadi lain sebagai sebuah pengetahuan. Pleyte dan Krom adalah pionir yang tentu saja mendahului para sejarawan dan filolog sekarang ini dalam penelitian naskah-naskah Sunda kuno. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang sejarah Sunda kuno mula-mula dikonstruksi mereka.

Tetapi tetap saja, dalam pengetahuan yang diproduksi lewat susunan naskah tradisional (kidung dan carita) itu, misalnya, unsur mitis kadung menyelimuti identitas kesundaan. Lihat saja geliat chauvinistik terhadap tokoh mitos legendaris Prabu Siliwangi yang meruyak sebagai simbol hegemonik urang Sunda. Pun, lihatlah bagaimana Palagan Bubat (1357) seperti konon dikisahkan naskah Pararaton dan Kidung Sundayana begitu diekspos sebagai representasi dendam kesumat orang Sunda terhadap Jawa. Belakangan malah muncul asumsi peristiwa itu diragukan pernah terjadi. Demi membangkitkan disharmoni Jawa dan Sunda, maka tragedi kolosal tersebut dijadikan senjata ampuh kolonial sebagai pemecah belah (devide et impera). Sebuah kesengajaan pengetahuankah?

Sunda secara historis terlahir lampau. Namun, identitasnya baru tercipta dengan cara dilembagakan. Kolonialisme Belanda sebelumnya sudah melembagakan Jawa lewat penyelidikan Javanologi-nya. Ketika pulau Jawa menjadi konsentris kekuasaan, lahir Mooi Indie (Hindia yang Molek) yang segalanya identik Jawa. Lalu menyusul citra Mooi Bandoeng dengan Parijs van Java-nya pada medio kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yang dikerangka Belanda dalam bingkah alam Priangan yang eksotik, budaya orang Sunda, hingga bahasanya. Nah, Sunda dilembagakan (bukan dicipta) –salah satunya– ketika bahasa Sunda secara leksikal mulai dikodifikasi sebagai kamus dan bahasa ajar di lembaga sekolah.

“Sunda dicipta Belanda” lewat media bahasa seperti ditafsir Gani boleh jadi kepentingan dan rekayasa kolonial. Akan tetapi, Arnold J. Toynbee sudah mengatakan bahwa “penciptaan bahasa merupakan hal yang jauh lebih belakangan dibandingkan proses sosialitasnya… Kata-kata adalah produk dari kecakapan manusia. Tidak ada komunitas manusia yang tidak mempunyai kata-kata.”

Toynbee benar. Buktinya, dalam Summa Oriental (1513-1515), Tome Pires memberi kesaksian kalau bahasa Sunda jelas sekali berbeda dengan bahasa Jawa meski hidup di satu pulau. Kesaksian Jurubasa darmamurcaya (ahli bahasa) masa kerajaan Sunda menyibak bahwa bahasa Sunda sekitar abad ke-16 dikelilingi oleh ragam bahasa asing (carek paranusa) dari dalam dan luar negeri. Ketika Priangan berada di bawah kekuasaan Mataram (abad ke-17), bahasa Jawa sebagai bahasa resmi turut memengaruhi perkembangan bahasa Sunda. Baru pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial lewat para figur Belanda memulai era pelembagaan identitas Sunda secara bahasa.

Dalam rangkaian proses sosialnya tersebut, bahasa Sunda mengalami depurifikasi yang puncaknya dioperasi lewat kekuasaan kolonial.

Lalu, siapa diuntungkan dari Sunda hasil operasi kuasa Belanda ini? Figur K.F. Holle (1829-1896) boleh jadi contoh. Holle dikenal sebagai sosok Belanda yang “nyunda”; sastrawan Sunda dan pemaju bahasa Sunda. Holle akrab di kalangan Menak Priangan pada paruh kedua abad ke-19. Begitu erat dengan budaya Sunda, hidupnya sudah seperti orang Sunda. Sebagai ambtenaar, Holle juga ditugaskan pemerintah menyusun buku-buku pelajaran berbahasa Sunda.

Di sini, hidup Holle segaris dengan si ahli bahasa Nusantara, Herman van der Tuuk (1824-1894) yang pernah berkomentar “semua yang telah dikerjakan untuk bahasa-bahasa Nusantara sama sekali tidak berharga, dan tidak akan ada perubahan, selama orang tidak mempelajarinya atas kepentingan bahasa-bahasa itu sendiri. Orang tidak akan banyak mencapai di segala bidang selama melakukan pekerjaan itu tanpa cinta.”

Apa untungnya bagi Holle dan Tuuk melekatkan diri dengan budaya pribumi; juga, apa untungnya Sunda dimajukan oleh figur yang notabene Belanda? Ternyata ada yang lebih penting dari sekedar kepentingan kolonial, yaitu kepentingan bahasa itu sendiri untuk berubah. Harus pula diakui bahwa Sunda di tangan Holle bukan lagi bahasa milik orang Sunda. Bangsa atau etnis manapun bisa menjadi “Sunda”, mungkin malah melebihi orang Sunda sekalipun. Di situlah fungsi identitas bermain yang kemudian menunjukkan kepentingan bahasa itu sendiri; bukan semata kepentingan kolonial terhadap pribumi.

Maka, dalam sejarah bahasa manapun, sebuah bahasa tentu mengalami interaksi dengan pengaruh luar. Tidak ada bahasa terjaga benar kemurniannya. Misalnya dalam budaya Indis, merespon Henry, bahasa Sunda (selain Jawa dan Betawi) juga berakulturasi dengan bahasa Belanda, yang kemudian menghasilkan bahasa petjuk (komposisi bahasa Sunda dan Belanda). Bagaimanapun Sunda sudah teridentitaskan. Sehingga, ketika dipengaruhi, unsur-unsur asing itu terserap. Yang mewujud kemudian adalah Sunda yang telah terakumulasi oleh unsur Jawa, Melayu, Belanda… Adapun yang murni Sunda tentu sulit diraba. Hal itu sudah ditelan oleh ruang dan waktu.

Ruh Sunda yang murni, dicipta dalam ruang dan waktu. Pada satu titik masa, Sunda menjadi pranata yang melahirkan identitas, seperti juga halnya Jawa, Batak, Bali… Dus, kata dicipta menjadi tidak lebih dari —menyinggung Lyotard— “permainan bahasa dan diskursus.” Tajuk dicipta, bukan dicipta, dan tidak dicipta: abstrak. Semua ternyata tengah berkelindan pada pranata.

(Picture source: http://aseanchat.com/default.aspx?g=posts&t=255)

Saat Tahun Berganti




Sabtu, 2 Januari 2010 | 04:44 WIB

Fadly Rahman

Seperti halnya makhluk yang menjejaki tua, begitu pun hidup semesta ini: menua dan memayah. Semua menunggu jemputan masa yang menuakan dan memayahkan segalanya.

Namun, kemafhuman menjadi tua dan payah banyak ditutupi oleh keingarbingaran merayakan pergantian tahun; setiap tahun selalu begitu dilalui manusia, tanpa bosan-bosannya. Begitu pun masa, yang belum jenuhnya menggulirkan lembar demi lembar kisah kehidupan yang menumpuk ampas amal-amal perbuatan manusia, merupa maslahat atau sebaliknya: kerusakan bagi hidup semesta ini.

Dan hal itu yang saat-saat ini begitu seriusnya tengah manusia hadapi dan—karena kecemasannya—coba dihindari dan diatasi. Sebutlah isu-isu pemanasan global hingga ancaman ”kiamat” yang ditakutkan terjadi pada tahun yang tidak lama lagi menjelang, begitu yang ramai dibilang ramalan atau prediksi—menggeli(sah)kan—dalam buku hingga film yang begitu laris dan mengguncang iman pada tahun 2009.

Banyak yang menyadari, ini ampas amal-amal perbuatan manusia yang menuai banyak kerusakan itu. Ada yang seakan menenangkan atau menghibur diri dengan mengimani kehidupan ini bagai kisah dalam teater klasik Yunani dan Romawi saja: tiba-tiba saja di balik layar muncul Deus ex Machina, ”tuhan” yang segala mampu memecahkan dilema. Dalam dunia nyata saat ini, ”tuhan” itu mewujud dalam pengultusan sains dan teknologi modern, yang mana dengannya semua hasrat bisa tergapai, meski nyata akhirnya banyak tergadai.

Benih yang tertanam sejak masa Aufklärung, ketika alam yang dihadapi milieu rasionalisme, oleh Alexander Pope dianekdoti: ”Nature and nature’s laws lay hid in night,//God said, ’Let Newton be,’ and all was light”. Bayangkan itu masa-masa abad ke-18, selepas dominasi dan dogma gereja Abad Pertengahan tumbang oleh rasionalisme Abad Pencerahan. Agama pun menjadi hambar saat ilmu pengetahuan dengan rasionalismenya menjadikan manusia jumawa dan alam pun takluk.

Mangsa kebuasan

Lalu, rasakan, saat benihnya itu sekarang membesar; dan tahun demi tahun yang berganti adalah—meminjam kata Arnold Toynbee—tantangan dan tanggapan (challenge and respond) kita atas bergulirnya kehidupan ngeri dan bahaya (vivere pericoloso). Dari segala penjuru, manusia dikepung: bencana, ganasnya perubahan iklim, epidemi penyakit, amoralitas, kejahatan yang berpejal sebagai bahaya hidup semesta.

Setidaknya dalam alegori sosialnya yang begitu bagus, HG Wells dalam novel The Time Machine yang ditulisnya pada 1895 mengangkat proyeksinya atas masa depan. Berkisah tentang Time Traveller—begitu Wells menamakan tokohnya—yang mengelana ke masa depan, menembus tahun 802.701. Si pengelana waktu terkejut karena mendapati dunia pada masa tersebut bukan lagi dihuni manusia, tetapi dua kelas makhluk: Morlock, makhluk kanibal yang berabad-abad menghuni dunia bawah tanah, dan Eloi, makhluk baik dan lugu yang menjadi mangsa para Morlock. Selain menjadi saksi punahnya manusia, sang pengelana waktu menyaksikan matahari mendingin, tak lagi memendarkan sinarnya untuk menghangatkan bumi.

Wells secara alegoris menerawang masa depan sebagai masa-masa penuh kejahatan dan kebuasan. Manusia bertabiat baik ibarat para Eloi yang hanya menjadi mangsa kebuasan para Morlock. Dan begitulah yang kita saksikan di dunia nyata. Mulai dari gurita korupsi, hukum dengan kerasnya mendera para papa tak berdaya, hingga kapitalisme dengan buasnya terus menggerus alam dunia yang tanahnya sama-sama kita jejaki, udara yang sama kita hirup, dan surya Matahari yang sama menghangatkan semesta. Bisakah semua itu dibenahi?

Tentu saja jika seandainya ada mesin waktu macam imajinasi Wells, sebagaimana pada 1930-an konon pernah diuji coba seorang ahli mekanika kuantum, Erwin Schrödinger, melalui teori gelombang mekaniknya. Jika seandainya eksperimen Schrödinger berhasil, bayangkan, mungkin akan ada mesin yang bisa mengatur maju-mundur waktu sehingga, layaknya imajinasi dalam cerita, komik, film: masa lalu bisa diperbaiki atau diluruskan seperti kisah-kisah menggelikan dalam Voyager, sebuah serial televisi dekade 1980-an itu.

Jika ambisi manusia menguasai waktu macam begitu benar terwujud, lalu apalah artinya takdir yang dicatat Tuhan bagi hidup semesta? Bahkan, apalah artinya Tuhan Sang Penguasa masa itu sendiri bagi hidup semesta jika manusia mampu merebut masa dari-Nya? Syukurlah, Tuhan memang menjaga ”takdir” membatasi ambisi dan kejumawaan manusia. Buktinya, Tuhan biarkan manusia saat ini gelisah dan takut hadapi kerusakan dunia meski manusia berdaya upaya memulihkannya melalui ”tuhan” sains dan teknologi modernnya. Bukti bahwa Tuhan memang—mengutip syair Rabindranath Tagore—”belum putus asa menghadapi manusia”.

Kegelisahan yang dihadapi semesta saat ini seakan mengesankan dunia tak lebih ibarat sebuah lampu minyak yang telah kehabisan minyaknya, hanya tersisa setetes dengan pijar api mengerjap-ngerjap, segera padam. Teringat pada cerita ramalan kiamat dalam novel Balthasar’s Odysey-nya Amin Maalouf (2003). Berkisah tentang Baldassare Embriaco yang pada masa-masa menjelang tutup tahun 1665 gelisah terhadap sebuah kitab berjudul Nama yang Keseratus yang meramalkan kiamat akan terjadi tahun 1666. Selama pemburuannya ke tiga benua demi mencari kitab pemuat nama Tuhan keseratus yang konon dapat menghindari kiamat itu, ia menyimpulkan bahwa banyak orang yang ditemuinya terbagi menjadi dua sifat. Mereka yang takut pada kiamat dengan memikirkan bencana dan mereka yang mengharapkannya karena memikirkan kebangkitan juru selamat dan pembebasan dari kebobrokan hidup dunia.

Banalnya kehidupan

Tentu saja, seperti halnya Wells, novel ini hanya sindiran atau olok-olok Maalouf atas kehidupan yang begitu banalnya dihadapi manusia pada masa depan; saat tahun-tahun berganti ketika manusia dicekam kecemasan bertumpuk dengan kezaliman, kelaliman, kepandiran, takhayul, goyahnya iman, dan keputusasaan. Kondisi akhir zaman, sebagaimana diwartakan dalam kitab-kitab suci yang kita imani, berkejaran dengan ramalan semisal Nostradamus atau Joyoboyo. Tak ada satu pun tahu semua tabir itu. Sebagaimana kisah Jibril yang menjelma sebagai manusia, menguji Muhammad dengan bertanya tentang kapankah masa akhir zaman? Dijawab Muhammad dengan bijaknya: ”Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”

Entah, lembar hidup macam apa yang akan bergulir saat tahun berganti. Kita terus berusaha lalu menunggu: harapan, kelak hidup semesta menjadi aman dan nyaman.

Mengutip ”Buat Ning” karya Sapardi Djoko Damono: Januari mengeras di tembok itu juga, lalu Desember//Musim pun masak sebelum menyala cakrawala//Tiba-tiba: kita bergegas pada jemputan itu. Dan kita: menua, (tapi janganlah) memayah.

Fadly Rahman Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
(Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/02/04441871/saat.tahun.berganti)

Picture Source: http://blogs.discovermagazine.com/intersection/2009/05/

Hidangan Sunda "Nu Nyunda"




Sabtu, 27 Juni 2009 | 10:47 WIB

Oleh Fadly Rahman

Citra cita rasa hidangan Sunda memuat cerita budaya dan sejarahnya sendiri. Setidaknya sebagai reidentifikasi, sekhas apakah kuliner Sunda dalam cerita dan citra cita rasanya?

Hidangan Sunda-seperti halnya hidangan berembel etnik lainnya-yang banyak tersaji di restoran-restoran berlabel menyajikan hidangan "khas Sunda", menggelitik lidah untuk merasakan, sebenarnya, kekhasan macam apa itu? Kekhasan ini berhubungan erat dengan wacana pencitraan makanan melalui pengakuan budaya etniknya. Bila ditelusuri jejak kultur historisnya, pengakuan "khas" hidangan etnik tertentu dalam bisnis restoran akan menjadi basis citra cita rasa apa yang mesti dipertahankan!

Jika sekiranya dibandingkan dengan hidangan etnik semisal Jawa dan Padang yang tersohor lebih dahulu dalam perkembangan industri kuliner, salah satu fragmen citra "khas" Sunda itu bisa diteropong dalam alam kolonial.

Sebagai gambaran, boleh dibilang restoran etnik yang sudah muncul dan sering disebut dalam pariwara di media cetak kolonial adalah restoran Jawa dan Padang. Willard A Hanna dalam Hikayat Jakarta (1988), misalnya, menyinggung bahwa pada awal abad ke-20 di kota-kota Hindia Belanda sudah ada restoran Padang dengan penyajian yang begitu sibuk. Pelayan berseragam dengan kaki telanjang hilir mudik melayani tamu.

Masakan kari-orang Belanda menyebutnya kerrie-menjadi salah satu menu khas yang identik dengan hidangan Padang. Kari padang ini lekat dengan pengaruh kuliner India yang aromanya tajam bercita rasa pedas berbahan lombok dan lada dengan kondimen rempah: ketumbar, jintan, kapulaga, adas, jahe, kunyit, cabai, kayu manis, cengkeh, dan pala-atau pengaruh Arab yang identik dengan gulai. Terlepas menyoal keaslian Padang-nya, hal itu setidaknya sudah menunjukkan kekhasan hidangannya saat itu.

Begitupun cita rasa "khas" Jawa juga dikonstruksi melalui modifikasi makanan etnik lainnya. Kari padang yang kaya bumbu dan pedas itu, misalnya, diubah suai oleh praktisi kuliner Indo-Eropa dengan menghasilkan kerrie-djawa yang diolah dengan bahan-bahan dasar beraroma wangi serta penggunaan lomboknya tidak begitu dominan, tetapi lebih pada tumbukan kemiri dan santan.

Setidaknya itu termuat dalam buku Groot Indonesisch Kookboek (buku besar hidangan Indonesia, 1987) susunan Beb Vuyk; wanita Indo-Belanda yang mengumpulkan ribuan resep hidangan Indonesia dan telah ia ubah sesuai cita rasa khas etnik tertentu.

Keberadaan rumah makan yang menyajikan hidangan khas Sunda sendiri tidak diketahui pada masa itu. Pun, jika ada, hanyalah penjaja makanan menggunakan pikoelan (baca: pikulan) sebagaimana diwartakan Augusta de Wit dalam Java: Fact and Fancies (1896), yang olehnya disebut sebagai "restoran-restoran" pribumi di Pulau Jawa yang berkumpul di satu area seperti alun-alun.

Barulah setelah perkembangan wisata pada awal abad ke-20 tumbuh pesat, keberadaan restoran etnik sedikit menggeser kesaksian Augusta de Wit. Itu pun boleh dikata, kepemilikan dan pengelolaannya adalah orang-orang Eropa dan China sebab merekalah yang mengenalkan konsep restoran di Hindia.

Lalu, mengemukalah restoran seperti Waroeng Djawa atau secara umum saat itu disebut dengan istilah Indische Restaurant, yang tersebar di kota-kota Hindia dan pada dasawarsa ketiga merambah kota-kota di Belanda. Namun, sekali lagi, seperti apa konsep restoran yang menyajikan hidangan khas Sunda masa kolonial tidak banyak diketahui.

"Lalab-lalab"

Sebenarnya, seperti diungkap Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (1992), persoalan makanan dengan cita rasanya di ranah etnik Indonesia belum banyak diketahui pada masa sebelum abad ke-19. Sebagaimana diamini Ong Hok Ham (alm), persoalan rasa baru dikonstruksi pada kurun abad ke-19. Rasa hidangan pun setelah itu diidentifikasi: Jawa yang berbumbu halus dan harum aromanya; Padang yang pedas dan royal bumbu; hingga citra cita rasa etnik-etnik lain yang diungkapkan lewat uraian voedingsmiddelen (makanan) dalam Encyclopedia van Nederlandsche-Indi? (1921).

Identifikasi kebiasaan makan orang Sunda masa itu sudah lekat dengan konsumsi nabati. Setidaknya dalam beberapa buku riset hingga buku resep masakan kolonial, istilah groentengerechten (makanan sayuran) memuat lalab sebagai makanan Soendaneezen, orang Sunda. Studi Dr K Heyne dalam De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie (manfaat sayuran di Hindia Belanda, 1927) memuat penjelasan perihal tanaman lalap dan manfaatnya, baik sebagai sumber makanan maupun obat. Jauh sebelumnya pada abad ke-17, pakar botani, Bontius, sudah menyinggung kata lalab-lalab sebagai varietas sayuran tertentu (groenten) yang biasa dimakan orang Jawa di sebelah barat (baca: Sunda) dengan sambal sebagai pelengkapnya.

Kandungan vitamin yang kaya membuat lalap menjadi komposisi hidangan tersendiri, sebagaimana Catenius van der Meijden memuatnya dalam buku Groot Vegetarisch Kookboek (buku besar olahan sayuran, 1912). Tampaknya orang Eropa turut mengadopsi kebiasaan makan orang Sunda ke dalam pola makan mereka sehingga turut dipopulerkan juga karedok yang khas Sunda itu, selain gado-gado dan urap-urap yang tersohor sebagai groentengerechten di Pulau Jawa.

Pengaruh kolonial

Citra khas hidangan Sunda yang lekat dengan budaya lalapan malah semakin dikuatkan oleh orang Eropa. Varietas sayuran, seperti labu, wortel, dan mentimun, kemudian dimasukkan sebagai lalapan orang Belanda yang disebut sebagai "pengganti hidangan Belanda" (als surrogaat voor Hollandse tafel). Ini menunjukkan bahwa kekhasan memamah jenis-jenis lalapan tidak berdiri sendiri sebagai budaya makan orang Sunda semata, tetapi alam kolonial turut berperan nyata mempertahankan citra khas itu.

Setidaknya ini cukup untuk mewacanakan orisinalitas makanan "khas Sunda" macam apa, yang selain sudah tercampur oleh pengaruh asing, juga menyumbang pengaruh vegetarianisme lewat budaya lalapannya. Beb Vuyk benar bahwa makanan di nusa Jawa dan nusa-nusa lainnya tidak lebih sebagai cullinaire infiltratie. Ya, infiltrasi kuliner asing yang merasuk masuk dan menghasilkan konsep hidangan etnik Indonesia kini, termasuk Sunda.

Dus memang, tidaklah soal melabeli hidangan "khas" Sunda di restoran-restoran yang menyajikan hidangan "khas Sunda" itu. Hanya saja, sungguh aneh jika lalap yang benar-benar khas hidangan Sunda itu tidak lengkap dan malah tidak terhidang di meja penikmat restoran-restoran Sunda yang menyajikan hidangan "khas Sunda".

Identifikasi yang dikonstruksi secara historis dan kultural hendaknya tidak diabaikan atau disepelekan. Sebab, ada yang harus dipertahankan dari cerita dan citra cita rasa Sunda nu nyunda itu.

FADLY RAHMAN Peminat Sejarah Makanan; Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
(Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/27/10475655/hidangan.sunda.nu.nyunda)

Picture Source: http://barayayas.wordpress.com/2009/05/27/makan-ga-nikmat-tanpa-lalap/

Menjadi Urang Sunda Yang Glokal



Sabtu, 31 Januari 2009 | 11:42 WIB

Oleh Fadly Rahman

Memandang Sunda memang tidak bisa lepas dari pencitraan mental yang tecermin dalam aspek sosial budaya masyarakat pendukungnya. Urang Sunda yang dikenal peramah, religius, dan seperti saudara tuanya, Jawa, nyatanya feodal.

Tipikal terakhir adalah sebentuk karakter yang melekat kuat dalam konstruksi dan akumulasi mental kolektif urang Sunda dalam bingkai sosiohistoris budayanya. Dan uniknya, konstruksi itu, jika disimak, menunjukkan gerak menetap sebagai inti (core) yang hidup dalam pola baru ketika suasana zaman terus bergulir dan berubah.

Pada 1940, seorang Sunda, Soewarsih Djojopoespito, menulis karya Buiten het Gareel (diterjemahkan sebagai Manusia Bebas). Membaca karyanya seakan memandang pribadi Soewarsih baur dalam pribadi: pribumi (baca: Sunda) dan Barat. Ambivalensi pribadi Soewarsih itu mengemuka saat pendidikan Barat menggejala di Tatar Sunda pada awal abad ke-20.

Pada satu sisi pendidikan Barat menstimulasi berkembangnya gejala modernitas, tetapi di sisi lain identitas kesundaan dalam aspek sosial budaya pun tetap hidup. Namun, tentu, ada urang Sunda yang terusik oleh kelindan bebas berpikir dan bertindak sosok-sosok intelektual muda Sunda rekaan Soewarsih. Mereka itu adalah golongan tua (baca: konservatif).

Sebagian golongan tua masa itu ingin mempertahankan nilai-nilai tradisi lama dalam kehidupan sosial budaya. Ada dari mereka yang menyerap pendidikan Barat untuk digunakan sebagai pengembang statusnya (achieved status) dalam meraih status m?nak. Nyatanya memang, pengaruh Barat yang progresif sekadar pelapis sebab hakikat yang sebenarnya dipertahankan mereka adalah fundamentalisme Sunda dalam wajah aristokrat gaya baru yang didapat lewat pendidikan Barat. Fundamen itu sebenarnya tampak dalam cermin feodalisme sebagai akumulasi dari masa-masa sebelum kolonialisme pada abad ke-19 di Tanah Priangan. Hubungan patron-client, bupati sebagai pelindung dan rakyat (cacah) sebagai yang dilindungi, adalah warisan masa Priangan di bawah kekuasaan Mataram. Dalam posisi klien, para bupati Priangan berbangga diri menyerap atribut budaya Jawa, baik bahasa maupun perilaku gaya hidup priayi.

Selepas dari kekuasaan Mataram, Priangan beralih di bawah kendali VOC. Kala abad ke-18, sisa-sisa pengaruh Mataram mengendap dalam wajah feodalisme kekuasaan para bupati Priangan yang dikemas VOC dalam bentuk pemerintahan tidak langsungnya. Penguasa pribumi dimanfaatkan sebagai tangan-tangan tidak langsung VOC untuk mengendalikan rakyat.

"Minderwaardig complex"

Para bupati dengan segala otoritasnya menanamkan nilai-nilai feodalisme Jawa itu dalam hierarki sosial. Di?m?n-?m?n dan di?nak-?nak, berkembanglah kelas m?nak yang senantiasa ingin diagung-agungkan dan didaulat sebagai status terhormat itu. Para m?nak sebagai patron dikelilingi para abdi dan cacah yang menaruh sikap respek dan hormat penuh keterpaksaan, oportunis, penjilat. Ini adalah cerminan konstruksi mentalitas yang terbentuk karena mekanisme sosial budaya saat itu.

Konstruksi itu, jika ditafsirkan, terbentuk karena warisan lama tradisi Jawa saat menguasai Priangan yang sengaja dilestarikan para penguasa Belanda. Tujuan pemerintah kolonial melestarikan feodalisme adalah melemahkan mental-mental pribumi dalam keminderan statusnya agar menghamba pada patron (bupati terhadap pemerintah kolonial serta rakyat terhadap penjajah dan bupati) sehingga terbentuklah generasi minderwaardig complex.

Hal riskan dari fundamen ini adalah makin kuatnya chauvinisme. Atas nama identitas, wajah Sunda kian menampilkan independensinya: Sunda yang berbeda dan lebih adiluhung dari Jawa. Kenyataan sejarah ditutupi, hingga dikukuhkanlah tokoh dan kisah mitos legendaris sebagai modal simbolik untuk mengemas semangat etno-nasionalisme Sunda awal abad ke-20.

Namun, tetap saja, seperti dikatakan Amin Maalouf, identitas adalah "musuh dalam selimut" yang kemudian banyak memancing kekerasan antar dan atas nama suku bangsa. Belum lagi praktik feodalisme dalam pengukuhan identitas Sunda yang sebenarnya dicemaskan malah melemahkan mental urang Sunda sendiri.

Inilah yang bertolak belakang dengan golongan muda yang lebih menekankan obsesi mereka memajukan pendidikan bagi anak pribumi. Mereka bukan pribadi Sunda yang teguh mempertahankan tradisi. Mereka dengan kebebasan berinteraksi dalam bingkah kultural Barat dan Sunda menginginkan Sunda yang berwibawa lewat rasionalitas pemikiran, lepas dari segala bentuk chauvinisme sempit.

Soewarsih adalah fenomena global paradox-mengutip istilah John Naisbitt-urang Sunda dengan cara berpikir lokal namun bertindak global. Dan pandangan Soewarsih itu hidup jauh melampaui zaman kita kini yang dibilang "modern" berbedak gaya hidup kosmopolitan dan Barat yang banal, tetapi tetap saja bernaskan struktur sosial budaya yang feodalistik.

Dan tentu, maksud Soewarsih menulis Manusia Bebas dalam bahasa Belanda, diakuinya, bahwa ia hanya menguasai dengan baik bahasa itu ketika naskah awalnya ditulis dalam bahasa Sunda ini ditolak penerbit Balai Pustaka. Barangkali penolakan itu dilandasi buah karya macam Soewarsih yang terlalu bebas untuk ukuran zaman kolonial-feodal saat itu: bisa mengancam kedudukan, bukan cuma kaum kolonialis, melainkan juga para feodalis.

Mesti dipahami, ini adalah buah kegelisahannya yang diangkat lewat citra kaum muda intelektual yang hendak membebaskan dirinya dari praktik-praktik tradisi kolot Sunda.

Milik dunia

Pribadi Sunda macam Soewarsih sejalan dengan konsepsi glokalisasi (glocalisation) Keith Hampton dan Barry Wellman (2002) yang diartikannya sebagai jaringan aktivitas manusia dalam batas lokal dan global. Hibriditas ini sudah menggejala pada masa Soewarsih, zaman pergerakan, di mana segelintir pemuda Sunda gerah dengan iklim feodal yang mengungkung ruang geraknya sebagai pribadi-pribadi intelektual. Sejarawan Perancis, Mona Ouzouf, berdawam bahwa kita semuanya tetap sama seperti dulu dan ingin tetap sama di masa datang. Apakah dawaman Ouzouf itu diamini jika yang dipertahankan urang Sunda adalah tradisi lama yang membuatnya kurung batok dalam gaya konservatif? Tentu saja sosok seperti Soewarsih pasti lebih memilih filosofi Latin: tempora mutantur, et nos mutamur in illis, waktu terus berubah dan kita (turut) berubah di dalamnya.

Waktu terus bergulir dan berubah. Begitupun Sunda bukan lagi milik urang Sunda. Beberapa tahun lalu, seorang Amerika Serikat, Becky Wilson, pernah memukau saya dengan kefasihannya berbahasa Sunda dan tembang-tembang Sunda yang dilagukannya. Namun, tentu, ia menekuni dan melakukan itu semua bukan untuk kepentingan urang Sunda. Sebab, Sunda dengan segala kerenikan sosial budayanya kini adalah milik dunia.

Tahun demi tahun hibriditas antara lokal (baca: Sunda) dan global makin terlihat. Dan, sudah semestinya, urang Sunda menampilkan identitasnya sebagai pribadi yang mengglobalkan dirinya dengan menampilkan jati dirinya sebagai "manusia bebas".

FADLY RAHMAN Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

(Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/31/11421728/jadi.orang.sunda.yang.glokal)

Picture Source: http://www.iias.nl/oideion/journal/issue01/zanten/4.html

Sumpah (untuk) Pemuda




Kompas, Rabu, 28 Oktober 2009 | 04:31 WIB

Oleh: Fadly Rahman

Delapan puluh satu tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober, para pemuda Indonesia bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.

Mereka adalah para pemuda yang gelisah akan nasib Tanah Air-nya. Kegelisahan mereka itulah rahim yang melahirkan bayi Indonesia.

Politik etis

Sebelum ikrar—yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda itu—dicetuskan, tindak tanduk para pemuda awal abad ke-20 begitu menegangkan Pemerintah Hindia Belanda. Aktivitas politik para pemuda menghadapi pengawasan ketat melalui Politieke Inlichtingen Dienst (PID, semacam dinas intelijen politik Hindia Belanda). Tulisan bernapas politik hingga rapat perkumpulan pribumi mendapat sensor.

Pemerintah Hindia Belanda harus menelan ludahnya sendiri. Pasalnya, salah satu poin kebijakan politik etis pemerintah adalah mengembangkan pendidikan di tanah jajahan. Hal ini berdampak buruk bagi keamanan dan ketertiban Hindia. Para pemuda yang mengenyam pendidikan Barat, yang sebelumnya diharapkan menjadi tenaga terdidik untuk ditempatkan di kantor-kantor pemerintah, justru kian menyadari kebangsaannya dan menuntut kemerdekaan. Mereka sadar, menjadi abdi pemerintah berarti kian meneguhkan eksistensi politik kolonial.

Selain itu, embrio kebangsaan yang semula muncul dari organisasi bersifat kedaerahan, seperti Boedi Oetomo (1908) serta sederet perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan Jong Batak, terkikis keinginan untuk bersatu. Mereka sadar, para agen kolonial memecah belah pribumi dengan menanamkan identitas etnik. Tujuannya, agar tidak terjadi persatuan di tanah koloni. Kesadaran pemuda ini, sebagaimana disebut filsuf Ernest Renant, merupakan hasrat hidup bersama.

Rajin membaca

Hasrat para pemuda itu dilandasi pendidikan sebagai senjata untuk menekuk kolonialisme Belanda. Ungkapan ”pengetahuan adalah kekuatan” yang disuarakan Francis Bacon nyata dinikmati para pemuda semisal Soekarno, Moh Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moh Yamin. Penguasaan mereka terhadap bahasa asing membuat mereka rajin membaca karya-karya besar.

Sjahrir yang membaca Immanuel Kant, Karl Marx, John Stuart Mill, hingga Ortega Y Gasset membawanya pada benang merah, ”Timur makin memerlukan ilmu pengetahuan dan rasionalisme Barat, Timur tidak lagi memerlukan mistisisme dan kepasrahan yang membuatnya menderita”.

Di tangan pemuda, bekal pengetahuan dan rasionalisme Barat yang mereka pelajari itu benar-benar menjadi bumerang bagi kolonialisme Belanda di Indonesia, seperti terjadi di tanah jajahan lain (misal Gandhi di India, Jose Rizal di Filipina, dan Sun Yat Sen di China).

Tidak ada dan tidak perlu ada kekuatan fisik dan senjata. Para pemuda menyadari, aneka gerakan sosial tidak terorganisasi yang banyak terjadi pada masa-masa sebelumnya, akhirnya tumpas di tangan militer kolonial. ”Senjata” pemuda pada masanya adalah pemikiran yang lahir dari ujung-ujung pena.

Seperti diucap ”bunga akhir abad ke-19”, Kartini, melalui kumpulan surat yang dibukukan Door Duisternis tot Licht, ”banyak, segalanya dapat diambil dari diri kita, tetapi bukan pena saya. Pena tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu; Saya dapat menyeret dengan pena saya, jika mencelupnya dalam darah jantung saya.” Ketajaman pikiran yang dimiliki Kartini terus merambat hingga awal abad ke- 20, saat kepekaan dan kemelékan para pemuda/pemudi terhadap isu-isu politik kolonial di dalam dan luar negeri kian terasah.

Suatu saat, Hatta muda menulis esai, Hindania! Esai itu bertutur tentang seorang janda kaya bernama Hindania. Ia menyesal menikah dengan Wollandia. Suami barunya itu mengeruk habis harta Hindania. Alegori dalam esai Hatta itu membuat pemerintah gelisah dan tak mengira seorang pribumi muda mampu menulis sarkasme seperti itu.

Tak cukup dengan pena. Para pemuda mengorganisasi diri melalui berbagai perkumpulan politik, hal yang mengingatkan pada apa yang diteriakkan seorang orator terhadap Jurgis dalam penutup novel Upton Sinclair, The Jungle: ”Organize! Organize! Organize!” Hanya dengan konsolidasi politik yang terorganisasi, jalan menggapai persatuan terwujud. Bisa dibayangkan saat senjata pena anak muda Indonesia kian tajam oleh pertemuan antarpemikiran rekan sebaya.

Melalui organisasi, mereka yang semula membuka album Indonesia. Bermula saat perkumpulan Indische Vereniging (1908) dibangun para mahasiswa Indonesia di Belanda, anak-anak muda kian intens terlibat persoalan politik.

Wilayah Hindia yang pernah disebut oleh George Samuel Windsor Earl dengan Indu-nesian (1850), Indonesians oleh James Richardson Logan (1863), dan Adolf Bastian dengan Indonesien (1884), mulai dikukuhkan secara politik oleh para pemuda pada awal abad ke-20, mengganti kata Indische yang dirasa berkonotasi labelisasi buatan kolonial dengan nama: Indonesia. Maka, nama Indische Vereniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (1922); disusul organisasi lain seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (1926), Partai Nasional Indonesia (1928), dan Indonesia Muda (1930).

Mereka adalah para pemuda yang tercerabut dari masa-masa yang—semestinya—mengalami keingarbingaran hedonisme lazimnya jiwa-jiwa muda. Sungguh mereka ”tidak normal”. Saat anak-anak muda berdansa-dansi di societeit, mereka berjibaku dengan buku dan pena, memikirkan sebuah bangsa yang dicita-citakan, kelak. Semestinya, pemuda yang hidup masa kini, iri dengan jiwa-jiwa muda seperti itu seraya membayangkan: andai kita hidup sezaman dengan mereka.

Delapan puluh satu tahun silam, para pemuda bersumpah untuk bangsanya. Kini, bagaimana rupa kegelisahan kita memikirkan bangsa ini; atau giliran kita bersumpah untuk menjaga sumpah para pemuda itu, mereka yang telah mewariskan sebuah bangsa bernama: Indonesia.

(Fadly Rahman Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran)

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/28/04312527/sumpah.untuk.pemuda

Picture Source: http://www.indonesianembassy.org.uk/photo_history_1.html