Mar 7, 2010

Bandung yang (tidak lagi) Mooi























Kompas, October 22nd, 2008 Filed under: Opini by admin

Fadly Rahman

Bandung pernah populer –dan barangkali masih sayup terdengar– dengan julukan nan menggoda: Parijs van Java (Paris-nya Jawa); Mooi Bandoeng (Bandung yang Molek); Bandoeng Vooruit (Bandung Maju) dan beragam atribut bagus lainnya. Namun, layakkah kini beromantisasi dengan istilah-istilah bentukan masa lampau itu?

Memang betul, kolonialisme, apapun wujudnya adalah momok yang akan dikenang sebagai pengalaman kelam sejarah sebuah bangsa. Karena kolonialisme, hak dan kebebasan manusia terjajah. Tapi, karena kolonialisme pula identitas kita dibentuk menjadi individu-individu berkarakter khas yang boleh jadi masih mewujud meski kolonialisme itu sendiri telah berakhir, tanpa pernah kita sadari.

Bandung adalah tipikalisasi yang bagus sebagai sebuah produk kolonial. Atribut colonial city selayaknya disandang kota ini. Secara fisik, sisa-sisa warisan kolonial (colonial heritage) masih terlihat, misalnya dari bangunan-bangunan bergaya Indis. Tapi, dari segi mentifact? Sulit diraba dan dilihat; paling hanya bisa dicerna dari bagaimana warga kota itu sendiri memperlakukan identitas kotanya sebagai kota yang pernah berjaya dalam sejarahnya.

Secara dasariah, proyek besar kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa seperti dikatakan penyair Inggris kenamaan, Rudyard Kipling, adalah: “mengadabkan bangsa jajahannya.” The White Man Burden, begitu salah satu judul puisi Kipling. Ya, bangsa jajahan adalah “beban” bagi bangsa penjajah, “si kulit putih Eropa” untuk diadabkan. Istilah burden memang sepihak sekali, karena yang dijajah tidak pernah meminta diadabkan. Tapi, memang begitulah galibnya nasib bangsa yang dijajah, selalu dik/s/alahkan dan ditindas. Dan Barat memang akan selalu hegemonik, seperti halnya kita yang berpandangan cupet dalam mengakui segala produk Barat lebih bermutu dan modern.

Salah satu proyek kolonial dalam mengadabkan itu adalah “mendidik” bangsa pribumi, misalnya agar hidup bersih, rapi, higienis, dan disiplin. Meskipun dalam persoalan mengadabkan ini sebenarnya merupakan usaha para kolonialis sendiri dalam mendekonstruksi realita yang ada, setelah sebelumnya mereka pernah membentuknya.

Maksudnya, kolonialisme dengan segala elemennya tetap memandang pribumi sebagai manusia pemalas (luij) dan tidak tekun, seenaknya (ijverloos). Terlepas apakah kemalasan itu bawaan sejak lahir atau bukan, namun kurang lebih stigma semacam itu baru muncul pada abad ke-18 ketika usaha perkebunan mulai meluas dan kaum pribumi seperti para mandor Sunda dan bupati menolak untuk dikerahkan sebagai pengawas VOC (opzichter). Konon, penolakan ini kemudian dikonstruk dan dibakukan orang Barat saat itu menjadi pembenaran, bahwa pribumi itu luij dan ijverloos. Pun mereka pula berhasil menyisipkan gagasan tentang stigma tersebut dalam hierarki sosial hingga barangkali masih melekat hingga kini (?).

Bandung sendiri hingga akhir abad ke-19 tidak lebih sebuah paradise in exile, surga di pengasingan. Hampir tidak ada orang Eropa yang betah bertahan lama di “kampung” Bandung. Semua itu baru berubah pada awal abad ke-20 ketika Bandung mengalami kemajuan pesat, akibat berkembangnya jalur kereta api, serta makin meluasnya aktivitas di sektor perkebunan, pendidikan, dan niaga. Kala awal abad ke-20, Bandung menjadi salah satu proyek modernisasi pemerintah kolonial. Gedung-gedung bercorak art-deco karya Schoemaker bersaudara bertebaran di Kota Bandung. Tempat-tempat eksotis disulap menjadi kawasan wisata, tetirah bagi para pelancong, khususnya orang-orang Eropa. Pada era tahun 1920-an istilah Parijs van Java dan Mooi Bandoeng kiranya memang layak disematkan. Politik kolonial dengan segala propaganda modernisasinya menjadi avant garde bagi bersoleknya Bandung kala itu.

Langkah apa yang dilakukan oleh para eksponen modernisasi Bandung? Salah satunya adalah menciptakan suasana Bandung yang bersih, nyaman, dan sehat. Hal ini tentu sebuah upaya untuk menunjang Bandung sebagai kota wisata setelah resmi menjadi gemeente pada tahun 1906. Contohnya, dalam sebuah tulisan bertajuk De Hygiëne in Bandoeng en Omstreken (Higienitas di Bandung dan Wilayah Sekitarnya) dalam majalah Mooi Bandoeng tahun 1939, seorang pakar kesehatan Belanda, M.U. Thierfelder menyebut Bandung sebagai kota yang masih relatif muda. Maka itu, ia memprioritaskan manfaat kebersihan untuk kesehatan masyarakat Bandung, antara lain penampungan sampah, kamar mandi yang bersih, hingga makanan dan minuman yang higienis.

Pemerintah kolonial memang begitu apik menyoal sanitasi dan kerapian kota. Meskipun perkembangan kota Bandung ditandai dengan pembangunan gedung-gedung hyper-modern, para city planner kolonial tahu benar menciptakan ruang yang ideal bagi sebuah kota. “This is the city, and I am one of the citizens” begitu filofosi penyair Amerika Walt Whitman yang tampaknya cocok betul dalam jiwa orang Eropa. Buktinya, bisa dilihat dari kota-kota Eropa sekarang. Bagaimana komponen sejarah kota itu tetap dipertahankan, meski modernitas terus berjalan. Hal itu yang mungkin sebetulnya ingin dipertahankan oleh para perancang kota Bandung baheula untuk masa-masa kemudian. Hanya amat disayangkan, setelah kolonialisme hengkang, kota ini dihuni oleh manusia-manusia bermentalitas tidak menghargai bagaimana memperlakukan identitas kotanya. Bukan maksud saya, bahwa misi para kolonialis belum tuntas dalam “mengadabkan” bangsa pribumi. Tapi, sisi baik yang diterapkan para kolonialis itu, sayangnya tidak terwariskan.

Sebuah moto klasik berbunyi “kota adalah manusia-manusia penghuninya”, berarti juga menunjukkan seperti apa karakter warga sebuah kota. Jadi, amatlah disayangkan, jika warga Bandung tidak sadar akan potensi kota ini sebagai lokus wisata sejarah. Masalah sampah di kota Bandung adalah ciri betapa bebal warga dalam hal sadar bersih dan sehat, meski diberi instruksi dan penyuluhan apapun. Belum lagi city planning yang makin tidak karuan dengan gencarnya pembangunan mal-mal megah dan gigantis. Betul memang, hal itu sudah biasa di negeri ini. Tapi, apakah mungkin melepas stigmatisasi kolonial itu: ijverloos, seenaknya? Jika ternyata benar identitas dan karakter itu warisan kolonial, maka khawatirlah kita akan siapa yang menanggung beban mengadabkan ini? Jawabnya, tentu bukan lagi para agen kolonial, namun manusia Bandung sendiri.

Kiranya, sudilah dimaklumi jika tulisan ini terkesan memojokkan. Meski sebenarnya Bandung boleh berlega. Karena bukan hanya Bandung; kota-kota di Indonesia yang pernah disematkan julukan nan bagus pada masa kolonial juga tidak kalah bermasalahnya. Jakarta, misalnya, yang dahulu dikenal dengan julukan Batavia: Queen of the East dan Venezia van Oost kini tengah sibuk meratu dengan sampah-sampah kampanye Pilkada DKI di antara bentaran kalinya yang makin hitam pekat, bau, penuh sampah. Maka itu tanpa berat hati, saya tekankan, kelak, bakal tidak ada lagi romantisasi sejarah.

(Picture Source: anisavitri.wordpress.com/2009/07/10/ [left], www.panoramio.com/photo/8081709 [right])

No comments: