Mar 7, 2010

Menjadi Urang Sunda Yang Glokal



Sabtu, 31 Januari 2009 | 11:42 WIB

Oleh Fadly Rahman

Memandang Sunda memang tidak bisa lepas dari pencitraan mental yang tecermin dalam aspek sosial budaya masyarakat pendukungnya. Urang Sunda yang dikenal peramah, religius, dan seperti saudara tuanya, Jawa, nyatanya feodal.

Tipikal terakhir adalah sebentuk karakter yang melekat kuat dalam konstruksi dan akumulasi mental kolektif urang Sunda dalam bingkai sosiohistoris budayanya. Dan uniknya, konstruksi itu, jika disimak, menunjukkan gerak menetap sebagai inti (core) yang hidup dalam pola baru ketika suasana zaman terus bergulir dan berubah.

Pada 1940, seorang Sunda, Soewarsih Djojopoespito, menulis karya Buiten het Gareel (diterjemahkan sebagai Manusia Bebas). Membaca karyanya seakan memandang pribadi Soewarsih baur dalam pribadi: pribumi (baca: Sunda) dan Barat. Ambivalensi pribadi Soewarsih itu mengemuka saat pendidikan Barat menggejala di Tatar Sunda pada awal abad ke-20.

Pada satu sisi pendidikan Barat menstimulasi berkembangnya gejala modernitas, tetapi di sisi lain identitas kesundaan dalam aspek sosial budaya pun tetap hidup. Namun, tentu, ada urang Sunda yang terusik oleh kelindan bebas berpikir dan bertindak sosok-sosok intelektual muda Sunda rekaan Soewarsih. Mereka itu adalah golongan tua (baca: konservatif).

Sebagian golongan tua masa itu ingin mempertahankan nilai-nilai tradisi lama dalam kehidupan sosial budaya. Ada dari mereka yang menyerap pendidikan Barat untuk digunakan sebagai pengembang statusnya (achieved status) dalam meraih status m?nak. Nyatanya memang, pengaruh Barat yang progresif sekadar pelapis sebab hakikat yang sebenarnya dipertahankan mereka adalah fundamentalisme Sunda dalam wajah aristokrat gaya baru yang didapat lewat pendidikan Barat. Fundamen itu sebenarnya tampak dalam cermin feodalisme sebagai akumulasi dari masa-masa sebelum kolonialisme pada abad ke-19 di Tanah Priangan. Hubungan patron-client, bupati sebagai pelindung dan rakyat (cacah) sebagai yang dilindungi, adalah warisan masa Priangan di bawah kekuasaan Mataram. Dalam posisi klien, para bupati Priangan berbangga diri menyerap atribut budaya Jawa, baik bahasa maupun perilaku gaya hidup priayi.

Selepas dari kekuasaan Mataram, Priangan beralih di bawah kendali VOC. Kala abad ke-18, sisa-sisa pengaruh Mataram mengendap dalam wajah feodalisme kekuasaan para bupati Priangan yang dikemas VOC dalam bentuk pemerintahan tidak langsungnya. Penguasa pribumi dimanfaatkan sebagai tangan-tangan tidak langsung VOC untuk mengendalikan rakyat.

"Minderwaardig complex"

Para bupati dengan segala otoritasnya menanamkan nilai-nilai feodalisme Jawa itu dalam hierarki sosial. Di?m?n-?m?n dan di?nak-?nak, berkembanglah kelas m?nak yang senantiasa ingin diagung-agungkan dan didaulat sebagai status terhormat itu. Para m?nak sebagai patron dikelilingi para abdi dan cacah yang menaruh sikap respek dan hormat penuh keterpaksaan, oportunis, penjilat. Ini adalah cerminan konstruksi mentalitas yang terbentuk karena mekanisme sosial budaya saat itu.

Konstruksi itu, jika ditafsirkan, terbentuk karena warisan lama tradisi Jawa saat menguasai Priangan yang sengaja dilestarikan para penguasa Belanda. Tujuan pemerintah kolonial melestarikan feodalisme adalah melemahkan mental-mental pribumi dalam keminderan statusnya agar menghamba pada patron (bupati terhadap pemerintah kolonial serta rakyat terhadap penjajah dan bupati) sehingga terbentuklah generasi minderwaardig complex.

Hal riskan dari fundamen ini adalah makin kuatnya chauvinisme. Atas nama identitas, wajah Sunda kian menampilkan independensinya: Sunda yang berbeda dan lebih adiluhung dari Jawa. Kenyataan sejarah ditutupi, hingga dikukuhkanlah tokoh dan kisah mitos legendaris sebagai modal simbolik untuk mengemas semangat etno-nasionalisme Sunda awal abad ke-20.

Namun, tetap saja, seperti dikatakan Amin Maalouf, identitas adalah "musuh dalam selimut" yang kemudian banyak memancing kekerasan antar dan atas nama suku bangsa. Belum lagi praktik feodalisme dalam pengukuhan identitas Sunda yang sebenarnya dicemaskan malah melemahkan mental urang Sunda sendiri.

Inilah yang bertolak belakang dengan golongan muda yang lebih menekankan obsesi mereka memajukan pendidikan bagi anak pribumi. Mereka bukan pribadi Sunda yang teguh mempertahankan tradisi. Mereka dengan kebebasan berinteraksi dalam bingkah kultural Barat dan Sunda menginginkan Sunda yang berwibawa lewat rasionalitas pemikiran, lepas dari segala bentuk chauvinisme sempit.

Soewarsih adalah fenomena global paradox-mengutip istilah John Naisbitt-urang Sunda dengan cara berpikir lokal namun bertindak global. Dan pandangan Soewarsih itu hidup jauh melampaui zaman kita kini yang dibilang "modern" berbedak gaya hidup kosmopolitan dan Barat yang banal, tetapi tetap saja bernaskan struktur sosial budaya yang feodalistik.

Dan tentu, maksud Soewarsih menulis Manusia Bebas dalam bahasa Belanda, diakuinya, bahwa ia hanya menguasai dengan baik bahasa itu ketika naskah awalnya ditulis dalam bahasa Sunda ini ditolak penerbit Balai Pustaka. Barangkali penolakan itu dilandasi buah karya macam Soewarsih yang terlalu bebas untuk ukuran zaman kolonial-feodal saat itu: bisa mengancam kedudukan, bukan cuma kaum kolonialis, melainkan juga para feodalis.

Mesti dipahami, ini adalah buah kegelisahannya yang diangkat lewat citra kaum muda intelektual yang hendak membebaskan dirinya dari praktik-praktik tradisi kolot Sunda.

Milik dunia

Pribadi Sunda macam Soewarsih sejalan dengan konsepsi glokalisasi (glocalisation) Keith Hampton dan Barry Wellman (2002) yang diartikannya sebagai jaringan aktivitas manusia dalam batas lokal dan global. Hibriditas ini sudah menggejala pada masa Soewarsih, zaman pergerakan, di mana segelintir pemuda Sunda gerah dengan iklim feodal yang mengungkung ruang geraknya sebagai pribadi-pribadi intelektual. Sejarawan Perancis, Mona Ouzouf, berdawam bahwa kita semuanya tetap sama seperti dulu dan ingin tetap sama di masa datang. Apakah dawaman Ouzouf itu diamini jika yang dipertahankan urang Sunda adalah tradisi lama yang membuatnya kurung batok dalam gaya konservatif? Tentu saja sosok seperti Soewarsih pasti lebih memilih filosofi Latin: tempora mutantur, et nos mutamur in illis, waktu terus berubah dan kita (turut) berubah di dalamnya.

Waktu terus bergulir dan berubah. Begitupun Sunda bukan lagi milik urang Sunda. Beberapa tahun lalu, seorang Amerika Serikat, Becky Wilson, pernah memukau saya dengan kefasihannya berbahasa Sunda dan tembang-tembang Sunda yang dilagukannya. Namun, tentu, ia menekuni dan melakukan itu semua bukan untuk kepentingan urang Sunda. Sebab, Sunda dengan segala kerenikan sosial budayanya kini adalah milik dunia.

Tahun demi tahun hibriditas antara lokal (baca: Sunda) dan global makin terlihat. Dan, sudah semestinya, urang Sunda menampilkan identitasnya sebagai pribadi yang mengglobalkan dirinya dengan menampilkan jati dirinya sebagai "manusia bebas".

FADLY RAHMAN Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

(Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/31/11421728/jadi.orang.sunda.yang.glokal)

Picture Source: http://www.iias.nl/oideion/journal/issue01/zanten/4.html

No comments: