Mar 7, 2010

Hidangan Sunda "Nu Nyunda"




Sabtu, 27 Juni 2009 | 10:47 WIB

Oleh Fadly Rahman

Citra cita rasa hidangan Sunda memuat cerita budaya dan sejarahnya sendiri. Setidaknya sebagai reidentifikasi, sekhas apakah kuliner Sunda dalam cerita dan citra cita rasanya?

Hidangan Sunda-seperti halnya hidangan berembel etnik lainnya-yang banyak tersaji di restoran-restoran berlabel menyajikan hidangan "khas Sunda", menggelitik lidah untuk merasakan, sebenarnya, kekhasan macam apa itu? Kekhasan ini berhubungan erat dengan wacana pencitraan makanan melalui pengakuan budaya etniknya. Bila ditelusuri jejak kultur historisnya, pengakuan "khas" hidangan etnik tertentu dalam bisnis restoran akan menjadi basis citra cita rasa apa yang mesti dipertahankan!

Jika sekiranya dibandingkan dengan hidangan etnik semisal Jawa dan Padang yang tersohor lebih dahulu dalam perkembangan industri kuliner, salah satu fragmen citra "khas" Sunda itu bisa diteropong dalam alam kolonial.

Sebagai gambaran, boleh dibilang restoran etnik yang sudah muncul dan sering disebut dalam pariwara di media cetak kolonial adalah restoran Jawa dan Padang. Willard A Hanna dalam Hikayat Jakarta (1988), misalnya, menyinggung bahwa pada awal abad ke-20 di kota-kota Hindia Belanda sudah ada restoran Padang dengan penyajian yang begitu sibuk. Pelayan berseragam dengan kaki telanjang hilir mudik melayani tamu.

Masakan kari-orang Belanda menyebutnya kerrie-menjadi salah satu menu khas yang identik dengan hidangan Padang. Kari padang ini lekat dengan pengaruh kuliner India yang aromanya tajam bercita rasa pedas berbahan lombok dan lada dengan kondimen rempah: ketumbar, jintan, kapulaga, adas, jahe, kunyit, cabai, kayu manis, cengkeh, dan pala-atau pengaruh Arab yang identik dengan gulai. Terlepas menyoal keaslian Padang-nya, hal itu setidaknya sudah menunjukkan kekhasan hidangannya saat itu.

Begitupun cita rasa "khas" Jawa juga dikonstruksi melalui modifikasi makanan etnik lainnya. Kari padang yang kaya bumbu dan pedas itu, misalnya, diubah suai oleh praktisi kuliner Indo-Eropa dengan menghasilkan kerrie-djawa yang diolah dengan bahan-bahan dasar beraroma wangi serta penggunaan lomboknya tidak begitu dominan, tetapi lebih pada tumbukan kemiri dan santan.

Setidaknya itu termuat dalam buku Groot Indonesisch Kookboek (buku besar hidangan Indonesia, 1987) susunan Beb Vuyk; wanita Indo-Belanda yang mengumpulkan ribuan resep hidangan Indonesia dan telah ia ubah sesuai cita rasa khas etnik tertentu.

Keberadaan rumah makan yang menyajikan hidangan khas Sunda sendiri tidak diketahui pada masa itu. Pun, jika ada, hanyalah penjaja makanan menggunakan pikoelan (baca: pikulan) sebagaimana diwartakan Augusta de Wit dalam Java: Fact and Fancies (1896), yang olehnya disebut sebagai "restoran-restoran" pribumi di Pulau Jawa yang berkumpul di satu area seperti alun-alun.

Barulah setelah perkembangan wisata pada awal abad ke-20 tumbuh pesat, keberadaan restoran etnik sedikit menggeser kesaksian Augusta de Wit. Itu pun boleh dikata, kepemilikan dan pengelolaannya adalah orang-orang Eropa dan China sebab merekalah yang mengenalkan konsep restoran di Hindia.

Lalu, mengemukalah restoran seperti Waroeng Djawa atau secara umum saat itu disebut dengan istilah Indische Restaurant, yang tersebar di kota-kota Hindia dan pada dasawarsa ketiga merambah kota-kota di Belanda. Namun, sekali lagi, seperti apa konsep restoran yang menyajikan hidangan khas Sunda masa kolonial tidak banyak diketahui.

"Lalab-lalab"

Sebenarnya, seperti diungkap Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (1992), persoalan makanan dengan cita rasanya di ranah etnik Indonesia belum banyak diketahui pada masa sebelum abad ke-19. Sebagaimana diamini Ong Hok Ham (alm), persoalan rasa baru dikonstruksi pada kurun abad ke-19. Rasa hidangan pun setelah itu diidentifikasi: Jawa yang berbumbu halus dan harum aromanya; Padang yang pedas dan royal bumbu; hingga citra cita rasa etnik-etnik lain yang diungkapkan lewat uraian voedingsmiddelen (makanan) dalam Encyclopedia van Nederlandsche-Indi? (1921).

Identifikasi kebiasaan makan orang Sunda masa itu sudah lekat dengan konsumsi nabati. Setidaknya dalam beberapa buku riset hingga buku resep masakan kolonial, istilah groentengerechten (makanan sayuran) memuat lalab sebagai makanan Soendaneezen, orang Sunda. Studi Dr K Heyne dalam De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie (manfaat sayuran di Hindia Belanda, 1927) memuat penjelasan perihal tanaman lalap dan manfaatnya, baik sebagai sumber makanan maupun obat. Jauh sebelumnya pada abad ke-17, pakar botani, Bontius, sudah menyinggung kata lalab-lalab sebagai varietas sayuran tertentu (groenten) yang biasa dimakan orang Jawa di sebelah barat (baca: Sunda) dengan sambal sebagai pelengkapnya.

Kandungan vitamin yang kaya membuat lalap menjadi komposisi hidangan tersendiri, sebagaimana Catenius van der Meijden memuatnya dalam buku Groot Vegetarisch Kookboek (buku besar olahan sayuran, 1912). Tampaknya orang Eropa turut mengadopsi kebiasaan makan orang Sunda ke dalam pola makan mereka sehingga turut dipopulerkan juga karedok yang khas Sunda itu, selain gado-gado dan urap-urap yang tersohor sebagai groentengerechten di Pulau Jawa.

Pengaruh kolonial

Citra khas hidangan Sunda yang lekat dengan budaya lalapan malah semakin dikuatkan oleh orang Eropa. Varietas sayuran, seperti labu, wortel, dan mentimun, kemudian dimasukkan sebagai lalapan orang Belanda yang disebut sebagai "pengganti hidangan Belanda" (als surrogaat voor Hollandse tafel). Ini menunjukkan bahwa kekhasan memamah jenis-jenis lalapan tidak berdiri sendiri sebagai budaya makan orang Sunda semata, tetapi alam kolonial turut berperan nyata mempertahankan citra khas itu.

Setidaknya ini cukup untuk mewacanakan orisinalitas makanan "khas Sunda" macam apa, yang selain sudah tercampur oleh pengaruh asing, juga menyumbang pengaruh vegetarianisme lewat budaya lalapannya. Beb Vuyk benar bahwa makanan di nusa Jawa dan nusa-nusa lainnya tidak lebih sebagai cullinaire infiltratie. Ya, infiltrasi kuliner asing yang merasuk masuk dan menghasilkan konsep hidangan etnik Indonesia kini, termasuk Sunda.

Dus memang, tidaklah soal melabeli hidangan "khas" Sunda di restoran-restoran yang menyajikan hidangan "khas Sunda" itu. Hanya saja, sungguh aneh jika lalap yang benar-benar khas hidangan Sunda itu tidak lengkap dan malah tidak terhidang di meja penikmat restoran-restoran Sunda yang menyajikan hidangan "khas Sunda".

Identifikasi yang dikonstruksi secara historis dan kultural hendaknya tidak diabaikan atau disepelekan. Sebab, ada yang harus dipertahankan dari cerita dan citra cita rasa Sunda nu nyunda itu.

FADLY RAHMAN Peminat Sejarah Makanan; Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
(Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/27/10475655/hidangan.sunda.nu.nyunda)

Picture Source: http://barayayas.wordpress.com/2009/05/27/makan-ga-nikmat-tanpa-lalap/

No comments: