Judul: Molly Bondan: In Love with a Nation, Penuturan dalam Kata-Katanya Sendiri.
Penulis: Molly Bondan
Editor: Joan Hardjono-Charles Warner
Penterjemah: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Obor
Cetakan: I, 2008
Halaman: xviii+298 hal.
Pasang surut hubungan Indonesia – Australia adalah bagian tidak terpisahkan dari faktor historis dan isu-isu politik kedua Negara. Dan fragmen penting yang sedianya disadari dapat menyadarkan hubungan keduanya hidup pada sosok: Molly Bondan.
Buku otobiografi Molly Bondan ini adalah keping dari sejarah hubungan Indonesia; selain tentunya dengan Molly pribadi, juga Australia–sebagai tanah kelahirannya itu. Siapakah Molly? Terlahir pada 1912 dengan nama Molly Warner, proses persentuhannya dengan Indonesia dimulai dari ketidaktahuan dan ketidaksengajaannya masuk dalam poros revolusi kemerdekaan Indonesia. Perkenalannya dengan para aktivitis politik antikolonial Indonesia di Australia yang tergabung dalam Central Komite Kemerdekaan Indonesia (CENKIM)-lah yang mengantarkan Molly menyelami isu-isu politik seputar rekolonialisasi Belanda di Indonesia; terlebih pernikahannya dengan Mohamad Bondan, eks-Digulis dan eksponen CENKIM.
Kisah cintanya dengan Bondan sendiri tidak diungkap Molly berlebih. Tapi itu dirasakan hidup dalam kelindan idealismenya bersanding dengan Bondan yang –atas kesadarannya sendiri– membawanya ke Indonesia pada 12 November 1947 dan berjuang mempertahankan kemerdekaan republik ini.
Bukan hanya menekankan pada aktivitas politik, namun hal menarik dari fragmen hidup Molly adalah pandangan dan sikap kritisnya terhadap dinamika wajah kehidupan sosial budaya Indonesia. Misalnya saja pandangannya seputar kehidupan beragama di Indonesia yang dinilainya hanya hidup pada sendi-sendi formalitas saja; hanya tampilan luar tanpa disertai pemaknaan mendalam pada hakikat universalitas agama dan nilai-nilai ketuhanan yang dikandung dalam agama itu sendiri.
Penilaian Molly ini tidak bisa lepas dari filosofi ajaran teosofi yang sejak kecil dikenal dan diresapinya (hal. 8 – 10). Maka itu, dalam kritiknya atas penerapan Sila ke-1 Pancasila yang dimaknai masyarakat secara banal, tidak lebih sekedar “harus pergi ke gereja atau mesjid”, dan ujarnya “aku tidak percaya bahwa maknanya seperti itu. Arti yang benar adalah kesadaran yang terus-menerus tentang keberadaan Tuhan, selalu mengingat Yang Maha Esa dalam setiap kegiatan…” Pemaknaannya atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “Believe in God” itu, mewakili pandangannya atas Pancasila sebagai ideologi politik yang ideal; dan seperti dikatakannya “selama Indonesia menetapkan bahwa pasal-pasal itu adalah tujuannya, aku akan mendukung Indonesia apapun yang terjadi.” (hal. 184 – 187). Namun di matanya, pemaknaan dan penerapan Pancasila hanya tampak dalam kemasan luar, formalitas yang dangkal.
Kegagalan memaknai pancasila –yang diharapkan sebagai pembentuk mentalitas masyarakat Indonesia– menurutnya malah hanya menghasilkan deviasi moral. Penyimpangan itu, sebagai contoh, tampak dari kegagalan peristiwa kudeta tahun 1965 yang ia nilai sebagai masalah mengerikan dan membebani, belum lagi kegilaan arus ‘modernisasi’ yang melanda masyarakat Indonesia (hal. 182). Penerapan ‘demokrasi’ adalah salah satu fenomena ‘modernisasi’ pascagagalnya kudeta tahun 1965 yang menjadi masalah nyata dan –hingga kini masih– menggejala lewat aktualisasi penekanan fungsi-fungsi partai politik sebagai komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. Padahal baginya, jelas, organisasi politik di negara ini tidak berfungsi sama sekali dalam membentuk ideologi; sebab yang diikuti hanyalah satu ideologi: Pancasila.
Pandangannya terhadap Pancasila sebagai sebuah ideologi juga dikaitkan dengan keeratannya bekerja dalam pemerintahan Soekarno hingga Orde Baru. Salah satu peran yang dilakoninya adalah penerjemah pidato-pidato Presiden Soekarno.
Pidato Presiden Soekarno di muka Sidang Umum PBB bertajuk New Emerging Forces dan To Build the World Anew tidak lepas dari peran Molly sebagai penerjemah naskah pidato tersebut. Terdapat perannya di balik muatan naskah pidato yang penuh gebu spirit nasionalisme itu; tapi yang utama, secara kejiwaan ia telah melepas mentalitas serta geneologinya sebagai seorang ‘Barat’ di tengah konstelasi konflik ideologi politik kapitalisme liberal dan komunisme imbas Perang Dingin –yang saat itu terkutubkan dalam Blok Barat dan Timur. Tentu, ini bukan soal loyalitas Molly berpihak pada Indonesia atau berkiblat pada salah satu kumparan ideologi; tapi idealismenya memandang superiotas Barat dengan gaya neoimperialismenya yang membuat ia memposisikan diri demikian.
Molly seakan coba mendekonstruksi kecupetan konstruksi dikotomik Barat dan Timur. Jaras itulah yang selama ini masih saja mengekang mentalitas orang Indonesia memandang Australia sebagai Barat yang kuasa; dan segelintir orang Australia yang memandang Indonesia sebagai Timur yang rendah. Tapi, Molly lewat pengalaman dan pandangan hidupnya meluruhkan itu semua.
Otobiografi yang disusunnya ini menuangkan pandangannya sejak awal persentuhannya dengan Indonesia, pernikahan dengan Mohamad Bondan, pengalamannya pada masa Orde Lama hingga Orde Baru pada dasawarsa 1980-an, hingga masa menjelang tutup usianya pada 1990. Lewat enam belas pembabakan perjalanan hidupnya, ditambah suplemen renungan dan lampiran seputar ajaran teosofi yang diresapinya hingga menyoal asosiasi Indonesia – Australia; setidaknya buku ini menjadi salah satu refleksi sejarah seputar wacana nasionalisme Indonesia dilihat dari perspektif Molly. Dan dalam skala luas sebagai penyadar pasang-surut hubungan Indonesia – Australia.
Seperti dikatakan John Legge dalam pembuka kata buku ini (hal. xi), Molly memang cukup berhati-hati dalam membuat pernyataan tegas seputar peran dirinya dalam menyusun otobiografinya ini. Itulah kenapa buku ini mampu mendudukkan perspektif Molly secara khusus dan kondisi umum politik Indonesia terkait pasang surut hubungan dengan Australia selama ini.
Membaca sosok Molly seakan dua sisi sekeping mata uang: ia yang terlahir sebagai seorang Australia namun menjadi seorang nasionalis, republiken yang menumpahkan hidupnya membela kemerdekaan Indonesia. Tapi, apalah arti ia yang muasalnya seorang dari Negeri Kanguru atau si filantropis pada Indonesia ini? Toh benar seperti dibilang Ben Anderson: nation adalah imagined community yang hakikatnya kita semua adalah “anak semua bangsa”–mengutip salah satu judul tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Dan sosok Molly hidup dalam jaras itu!
Showing posts with label Book. Show all posts
Showing posts with label Book. Show all posts
May 28, 2010
Aura Seni (dan) Jeihan: Perspektif Tamaddun

oleh: Fadly Rahman
Albert Einstein berkata: “matter is energy, energy is light, we are all light beings.” Bagaimana bisa ‘cahaya’ manusia dirumuskan melalui E=mc2, rumusan terkenal sang fisikawan itu? Entah. Einstein tentu punya rumusannya sendiri, seperti halnya setiap manusia menyukai tafsir-tafsir sebagai rumusan hidupnya.
Cahaya manusia yang kasat mata itu lebih dikenal dengan istilah ‘aura’; kata dalam bahasa Yunani au|ra yang berarti “a particular atmosphere or quality that seems to surround a person or thing.” Karena sifat kasat itulah yang membuat Fisslinger pada 1998 membuat Aura Video Station, sebuah mesin pemindai aura tubuh manusia. Merah, oranye, hijau, kuning, biru, indigo adalah sekian warna yang berkelindan di antara tubuh yang menandai keadaan tensi emosi keriangan, amarah, dan kemuraman manusia. Alat itu dicipta, berhubung penglihatan kita dibatasi kemampuannya oleh Tuhan untuk memindai aura. Hanya rasa saja, penginderaan yang kita andalkan untuk –itupun sebatas merasa– membaca kejiwaan manusia. Tapi, kiranya, para pelukis diberi kelebihan oleh Tuhan, baik penginderaan maupun ruhaninya untuk membaca warna cahaya pada tubuh manusia.
Indera dan ruhani itu pula yang tampaknya mengisi raga (seni) Jeihan. Sapuan kuasnya di kanvas mengalihkan obyek seorang gadis berjilbab yang tampak riang, merona merah wajahnya ketika dilukis. Prosesi melukis kurang lebih sekitar sepuluh menit saja. Hasilnya adalah sesosok –seperti biasa– bermata hitam dengan latar merah tua menyala. Sebagai seorang penikmat/pemandang seni rupa yang agak awam ini, entah apa yang membuat kuduk ini bergetar melihat hasil sapuan akhir kuas Jeihan itu. Mata hitam adalah aksentuasinya, dan ruang putih dalam kanvas menyiratkan harmonisasi dan kekuatan filosofi tersendiri yang menjadi sebab terjadinya vibrasi dalam jiwa tatkala memandangnya. Mungkinkah ini penyampaian kekuatan aura seninya yang membuat harga lukisan-lukisan Jeihan melambung mahal, ratusan juta rupiah. Hanya pencinta/penikmat/barangkali pasar saja yang mampu memaknainya –atau kolektor yang memiliki dan memajangnya sebagai prestise.
Tapi, tentu saja, di balik mata hitam dalam lukisannya itu, warna merah tua menyala yang menjadi latarnya mengandung enigma. Apakah itu sejenis pembacaan Jeihan terhadap aura si gadis yang riang gembira? Entah. Yang pasti si gadis memang sumringah, sampai-sampai mencium punggung tangan Jeihan sebagai kesuka-citaannya. Tapi, hanya Jeihan saja yang tahu jawaban di balik setiap karyanya, kita bolehlah menafsir-nafsir. Seorang teman mewartakan hal penting –yang bolehlah dibilang salah satu ide tulisan ini, bahwa Jeihan memilih-milih aura yang disukainya untuk dilukis. Mungkin, itulah mengapa, dalam lukisan lainnya ada juga pancaran murung, putus asa, kontemplatif, bahkan riang kekanakan dengan penekanan mata hitam penuh misteri. Pilihan obyek lukisan Jeihan dengan macam kesan demikian mengingatkan pada kata-kata Raphael (1483 – 1520), “In order to paint a fair one, I should need to see several fair ones, with the proviso that Your Lordship will be with me to select the best. But as there is a shortage both of good judges and of beautiful women, I am making use of some sort of idea which comes into my mind.”
Tuhan, dikatakan Raphael, bersamanya ketika memilih objek yang terbaik untuk dilukisnya. Hasilnya adalah serangkaian potret Madonna (Virgin Mary) atau sebentuk kepala perempuan dengan sorot mata mendelik cantik mengulum senyum amat simpul/sederhana –seperti halnya senyum penuh misteri Monalisa karya Leonardo da Vinci sebagai yang paling tersohor dari sekian karya-karya seni rupa Renaissance itu.
Raphael hidup pada masa awal Renaissance di Eropa. Dan para pelukis semasanya itu terbawa pada alam pikiran yang mencitrakan nilai-nilai religiusitas dengan dominan menampilkan figur perempuan dalam kanvas-kanvas lukisannya seperti –selain Raphael dan da Vinci– Fra Filippo Lippi dengan Madonna and Child, (1455), Tintoretto, The Origin of Milky Way (1575/1580), Jan van Eyck, Madonna and Child (1433), atau Gatochi, Titian, Virgin, and Child (ca. 1500). Kedudukan perempuan dalam karya-karya seni rupa sungguh tidak menonjol saat kesuraman Abad Pertengahan akibat dogmatika gereja yang mengutuknya sebagai sumber dari segala petaka hidup manusia, sebagaimana karya Masaccio: The Expulsion of Adam and Eve. Perempuan dikutuk, sebab dialah mula yang menyebabkan umat manusia diusir dari taman surga ke dunia fana ini. Cahaya Hawa pun gelap di masa Abad Pertengahan; lalu sebagai pengalih Hawa, mulailah gereja mengkultuskan figur Madonna atau Perawan Maria yang memengaruhi juga selera banyak artisan masa itu (Frances & Gies, 1978: 37; Wallbank & Taylor, 1949: 477).
Figur perempuan yang banyak ditampilkan dalam seni rupa masa pertengahan juga mengangkat (kembali) derajat/kehormatannya sebagai arketip purba: perempuan/betina sebagai simbol embrio hayati. Peradaban di berbagai belahan dunia ribuan tahun lampau memuja-memuja Dewi Ibu (Mother Goddess) sebagai simbolisasi kesuburan. Hal itu pada awal Renaissance diwujudkan dalam nafas seni rupa realistik dan romantik yang menghanyutkan manusia terhadap nilai-nilai keimanan Kristiani melalui pengkudusan/pengkultusan karya seni sebagai obyektifikasi Perawan Maria –selain Yesus atau para santo. Para petani bahkan sampai bersimpuh ketika karya artisan diarak di desa-desa. Kondisi itu dijadikan contoh oleh Walter Benjamin dalam tulisannya The Work of Art at the Age of Mechanical Reproduction, bahwa cahaya religiusitas masa itu dalam konteks seni modern adalah –menjadi– post-auratic. Maksud cahaya religiusitas dalam seni pra-modern di sini adalah adanya pembubuhan nimbus (cahaya) dengan sifat-sifat yang mirip manusia, mengandung: aura.
Namun dikatakan Benjamin, auratika itu pada akhirnya gugus juga oleh arus zaman modern ketika karya seni rupa para artisan yang dinilai religius harus terpisahkan dari lingkungan sosio-hitorisnya. Benjamin juga mengatakan, aura merupakan gejala unik sebuah distansi yang dimiliki objek historis atau alamiah. Penjelasan terbaik yang diberikannya diilustrasikan dengan merujuk pada aura yang dimiliki oleh objek alamiah. Dalam bahasa Benjamin: “If, while resting on a summer afternoon, you follow with your eyes a mountain range on the horizon or a branch which casts its shadow over you, you experience the aura of those mountains, of that branch.” (Benjamin, 1982: 224 -225). Itulah aura yang ia maksudkan. Dalam masyarakat industri/kapitalisme kekuatan pancaran aura estetik akan lenyap karena kegiatan reproduksi dimaknai sebagai kegiatan teknis belaka untuk mengejar tujuan ekonomi-modal.
Tidak mengherankan jika ada pelukis yang mengalami masa-masa awal post-auratic ini begitu gegar dengan pandangan sosial (baca: pasar) terhadap karya-karyanya. Kegegaran itu dialami Vincent van Gogh yang menilai pasar (baca juga: uang) akan membuat prospek seni(nya) menjadi gelap. Pada 1890 ia bunuh diri dengan menembak perutnya. Sebelum membunuh diri, ia melukis karya terakhirnya Crows in a Wheatfield. Burung-burung gagak yang berterbangan di ladang gandum adalah simbol emosinya atas kematian seni (gagak sebagai penandanya) yang digilas oleh kapitalisme pasar (gandum sebagai penandanya) dan –akhirnya– ia memilih untuk mati saja.
Awam mungkin menganggap gila van Gogh yang memang berjiwa aneh itu. Tapi, alam berkesenian masa-masa post-auratic yang memunculkan kegoncangan emosional –mungkin segelintir– artisan, bahwa seni tidak bisa diukur dengan uang dengan pasar sebagai katalisatornya. Hanya sayang, van Gogh tidak membaca bahwa zaman saat itu tengah berubah; pandangan manusia akan kadar religiusitas seni pun tidak seperti yang silam. Maka itu, pada awal abad ke-20, selain diiringi munculnya aliran-aliran baru dalam seni rupa sebagai sebentuk respon terhadap aliran klasik, seniman pun beradaptasi dengan kondisi nilai seni yang berjalan dalam jalur pasar. Dan aura akan terus menubuh dalam seni rupa dengan wujud lain, tentunya…
Benjamin mungkin ada benarnya menyebut masa-masa redupnya cahaya sakral dalam seni modern dengan membuka album auratic seni di Eropa masa pertengahan. Tapi, ia luput, bahwa apapun kondisi zamannya, aura tetaplah mengendap dalam segenap seni rupa meski bertumpuk dengan kepentingan pasar sekalipun. Goenawan Mohamad (2005: 432) menimpali “cahaya profan” Benjamin sebenarnya merupakan “kwasi-auratik.” Ditimpali demikian, sebab setiap karya seni itu memiliki wibawa yang tidak bisa dimiliki banyak/sembarang orang, maka itu Goenawan sebut sebagai “harta oligarkik.” Wibawa itu sendiri muncul dan tumbuh dari penyebaran informasi, sosialisasi simbol, dan hegemoni citarasa.
Dus, akhirnya ini soal pemaknaan saja yang menjadi lain. Menyoal pemaknaan ini, Benjamin (dalam Saptawasana & Cahyadi, 2005: 35) menyebut konsep flâneur untuk membaca: diikatnya manusia oleh kondisi yang melayang-layang dalam kerumunan fenomena industrialisasi. Akhirnya, ia maksudkan, tidak ada jati diri/matinya manusia menikmati kesenian.
Tentu saja kupasan jejak kesenian masa pra-modern dan modern ini beralasan untuk membaca aura kesenian Jeihan. Paras-paras wanita dengan tatapan hitam, kosong yang misterius dalam karya Jeihan seakan menarik jika dibenturkan dengan filosofi seni di Eropa Abad Pertengahan yang memuat cahaya religiusitas sebagai esensinya memantulkan kekudusan dan kejelitaan paras Perawan Maria dengan senyum simpul yang meneduhkan siapapun memandang. Mereka memancarkan aura. Dan aura itu seperti dibilang Raphael berasal dari alam pikiran si pelukis.
Tapi, ada warna lain di balik muatan filosofi karya Jeihan. Banyak perempuan yang menjadi obyek lukisannya tampaknya berlandas pada kata-katanya, bahwa “pada akhirnya kita ini akan kembali ke pembelahan diri,tidak perlu seks lagi. Plasma yang berkembang biak melalui pembelahan diri, sebenarnya bersifat perempuan…lelaki itu mengandung keperempuanan. Kehidupan ini dimulai dari ‘perempuan’ yang tanpa seks dapat membelah dirinya dalam regenerasi.” (Sumardjo, t.th.: 12). Ini menandakan perhatian dan penghormatan Jeihan yang lebih terhadap perempuan. Namun, ia bukan bicara soal kesucian seperti halnya figurasi Perawan Maria, pandangan-pandangannya pun ada yang memantulkan sarkasme dan juga kegelisahan terhadap garis kehidupan perempuan masa sekarang.
Maka itu, selain kekuatan filosofi kata-katanya memandang keperempuanan itu, juga dikemas bersama kekuatan aura seni dalam setiap lukisannya yang memendam misteri, terpermanai dalam: mata hitam. Sebuah pandangan yang barangkali refleksi terhadap dirinya sendiri dan diri-diri manusia lainnya berada dan berkelindan dalam arus kehidupan.
Dan Jeihan boleh dikatakan tidak masuk dalam konsepsi flâneur-nya Benjamin. Jeihan tidak terombang-ambing dalam pergantian kondisi yang melayang-layang; ia tidak teracuni untuk tergoda membuka misteri mata hitamnya. Tampaknya ia membiarkan para penikmat/pemandang karyanya untuk bertanya-tanya: ada apa di balik mata hitam itu? Dalam puisi mBeling-nya, Mata (Jeihan, 2000: 39), si pasien yang penglihatannya diuji dokter mata untuk membaca teks: ZAMAN KITA, malah dibaca si pasien dengan: ZAMAN GILA, tampaknya sebuah alegori Jeihan terhadap indera penglihatan manusia yang sudah ‘rabun’ dalam memandang kegilaan-kegilaan hidup di tengah arus zaman sekarang.
Boleh dikatakan sebagai hal yang unik dan menarik. Tapi, filosofi di balik itu begitu dalamnya. Seperti dikatakan Jeihan, perihal kemenarikan itu ada pada perbedaan-perbedaan yang penuh warna. Hitam dan putih merupakan inti warnanya. Hitam sebagai kosong warna, warna kematian, penghapusan, peniadaan, kosong; dan putih adalah sumber warna-warna, yaitu isi dunia ini: kehidupan, pertumbuhan, kelahiran, penjabaran, isi... (Jeihan dalam Sumardjo, t.th: 5).
Dengan begitu, religiusitas Jeihan begitu kental sekali dalam filosofi warna hitam-putih yang mengingatkan pada konsepsi lingkaran Yang dan Yin dalam tamaddun Tiongkok. Lingkaran seluruhnya dalam konsepsi Yang dan Yin berarti alam raya. Bagian yang terang adalah Yang dan yang gelap, Yin. Semua yang ada di dunia ini dibuat dari Yang dan Yin. Jika tak ada terang dan gelap, maka kita tak akan dapat melihat apa-apa (Seeger, 1951: 49 – 50). Harmonisasi antara alam terang dan gelap itu tampak(nya) hidup dalam religiusitas Jeihan dan ketika dibenturkan dengan karya seninya menjadi begitu subtil dimaknai dengan perenungan, tidak sekedar untuk dinikmati/dipandang. Di situlah letak kekuatan auranya. Obyek yang dikatakan memancarkan aura, sehingga Jeihan ingin melukisnya, sebenarnya –dan hakikatnya– nimbus itu berasal dari nafsi dan milieu Jeihan yang berjejal dengan nilai-nilai religiusitasnya, sebagai pribadi muslim yang ta’at.
Pandangan hidup pelukis semacam ini tentu melebihi penghargaan nominal mata uang atas karya-karya yang dibandrol ratusan juta atau miliar rupiah sekalipun. Pun, pandangan hidup seorang artisan jugalah yang menjadi semacam variabel: pasar menghargai lukisan itu begitu mahal. Sebab bukan hanya aura yang dipancarkan lukisannya, tapi pancaran aura sang artisan jugalah yang membuatnya begitu bernilai: mahal.
Sebatas pembacaan mata yang hitam tertuang dalam tulisan ini, puisi Jeihan karya Taufiq Ismail bolehlah kiranya dipakai untuk membaca misteri di balik aura warna dan hitamnya mata dalam karya-karya Jeihan:
…
yang kau apungkan siapa
yang kutimbang
warna.
yang kau gariskan bayang
yang kutanyakan, masih saja
mata.
Jatinangor, November 2009
Rujukan
Benjamin, Walter. 1982. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations. London: Fontana
Frances & Joseph Gies. 1978. Women in the Middle Ages; the Lives of Real Women in a Vibrant Age of Transition. New York: Harper & Row.
Jeihan. 2000. Mata mBeling Jeihan. Jakarta: Grasindo.
Mohamad, Goenawan. 2005. “Tentang Seni dan Pasar” dalam Setelah Revolusi tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.
Saptawasana, Bima & Haryanto Cahyadi. 2005. “Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi; Diteropong dari Perspektif para Eksponen Neo-Marxisme” dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Jakarta: Kanisius.
Sumardjo, Jakob. t.th. Sajak Filsafat Jeihan. Bandung: Jeihan Institute.
Seeger, Elizabeth. 1951. Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang. Djakarta: J.B. Wolters.
Wallbank, T. Walter & Alastair M. Taylor. 1949. Civilization Past and Present. New York: Scott, Foresman, and Company.
Webster's New World Dictionary (3rd College Edition)
Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.
May 5, 2010
Wajah Indonesia dalam Kuliner

Judul : Indonesian Food
Penulis : Sri Owen
Terbit : 2008
Penerbit : Pavilion, London
Tebal buku : 287 halaman
Mengenalkan Indonesia melalui dunia wisata adalah hal biasa. Namun, mengenalkannya melalui budaya kuliner, bukanlah hal biasa.
Sebuah buku kuliner bertajuk Cuisines of Southeast Asia: a Culinary Journey through Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, Malaysia, Singapore, Indonesia and the Philippines (1993) karya Gwenda L. Hyman pernah menarik perhatian saya. Meski di dalamnya kuliner Indonesia disinggung sebagai salah satu bagian regional Asia Tenggara saja, namun hal yang berkesan, dengan uraian begitu menarik Hyman menunjukkan bagaimana dinamika kedudukan makanan dalam kebudayaan manusia.
Menarik dan pentingnya kedudukan makanan itu ditemukan juga dalam buku Indonesian Food. Buku ini boleh dikatakan sebuah ikhtiar mengenalkan Indonesia melalui makanan. Sri Owen, penulis buku ini, adalah praktisi kuliner kelahiran Indonesia, yang sudah 44 tahun bermukim di Inggris. Tidak seperti lazimnya buku-buku kuliner, dalam buku ini Sri bukan sekedar mengenalkan aneka jenis makanan dan resep, namun menghidangkan berbagai jenis makanan sebagai medium mengenalkan khasanah budaya Indonesia.
Sebuah keunikan tersendiri mengenalkan Indonesia melalui cerita dan cita rasa kulinernya; ditambah pengalaman hidup penulis pada masa-masa mudanya di Pulau Sumatra, Jawa, dan selebihnya dihabiskan di Eropa itu. Karya sebelumnya, Indonesian Regional Food and Cookery (1986) pun telah memancing antusiasme orang-orang asing terhadap kuliner Indonesia.
Buku yang terdiri dari enam bab ini diawali kisah Sri pada kurun 1939 – 1952. Hidup pada masa itu, bagi Sri bukan sekedar warisan resep-resep masakan neneknya dan penganan nagasari, pisang goreng, rempeyek, klepon, pergedel yang disuka dan dikenangnya. Ada hal yang mengusiknya ketika mengenang persentuhan kuliner Indonesia dengan budaya kolonial.
Rijsttafel-lah yang mengusik Sri; sebab seperti halnya masa kolonial, pada masa poskolonial budaya makan kolonial itu masih hidup sebagai daya tarik wisata. Sebagaimana ia dedahkan dalam komentarnya ketika suatu kali mengunjungi salah satu hotel bintang lima di Bali yang memajang poster rijsttafel (hal. 13). Dahulu para pembesar kolonial begitu membanggakan hidangan Indonesia lewat sajian rijsttafel yang disajikan di ruang-ruang makan keluarga dan perhotelan. Dan, seperti halnya kini di Belanda, di Indonesia pun –misalnya di Restoran Oasis, Jakarta– budaya makan kolonial ini masih dijadikan sebagai daya tarik wisata. Pengadopsian serta pengemasan kuliner pribumi untuk memenuhi selera orang-orang Belanda nyata telah mencitrakan betapa mewah dan memikatnya hidangan Indonesia.
Melalui cerita rijsttafel, Sri menyiratkan bagaimana kolonialisme mengkonstruksi citra kuliner Indonesia sebagai ‘haute cuisine’ (boga adiluhung). Dan pada masa sekarang, boleh dibilang, membangun yang ‘adiluhung’ itu belum mampu menyamai rijsttafel.
Begitulah salah satu dari keseluruhan fragmen narasi Sri dengan selipan 120 resep hidangan Indonesia. Sepintas buku ini mengingatkan saya pada buku tebal Groot Indonesisch Kookboek, karya Beb Vuyk, wanita Indo-Belanda yang hobi memasak hidangan Indïsch (Indonesia) dan tinggal cukup lama di Indonesia pada medio pertama abad ke-20. Dan juga ada Catenius van der Meijden, ahli memasak awal abad ke-20, yang tidak pernah puas mengolah kuliner Indïsch dalam buku-bukunya yang dikenal di mancanegara masa itu. Tapi, baik narasi Vuyk maupun Meijden yang dibingkai dalam ribuan resep Indïsch nan memikat dan eksotik itu, dibuat tidak lebih sebagai pemuas selera orang-orang Eropa kala itu.
Sri lewat potret persawahahan di Minangkabau, warung yang berdampingan dengan rumah adat Minang, nelayan di Maninjau, penjaja makanan di Jawa, para wanita Bali menyuhun sesajian, selamatan di Jawa dan Bali, hingga kegiatan memasak di dapur orang Jawa sungguh menampilkan eksotisme dalam sudut pandangnya sebagai anak Indonesia yang merindukan tanah kelahirannya. Sri menaruh keping kepentingan dalam menyadarkan orang Indonesia untuk berbangga pada kulinernya; dan keping lain merangsang antusiasme orang asing pada kuliner Indonesia.
Pada kurun 1952 – 1964, dalam bab dua buku ini, Sri berkisah masa-masa menempuh pendidikan di Yogyakarta dan perkenalan dengan Roger Owen, pria Inggris yang kemudian menikahinya. Masa-masa ini, Sri banyak mengamati hal-hal renik seputar kuliner Indonesia yang meninggalkan kesan penting baginya di kemudian hari sebagai praktisi kuliner. Sebenarnya pengamatan biasa, tapi wawasan kulinernya begitu menarik, misalnya ketika bercerita rujak kesukaan orang Jawa yang dikatakannya sebagai pengalih fruit salad kesukaan orang Eropa. Dan perihal higienitas, siapapun yang mengunjungi Indonesia, ia lebih suka merekomendasikan minum air kelapa muda langsung dipetik dari pohonnya, ketimbang meminum stroop (sirup) dan sari buah kemasan (hal.42).
Semua pengalaman semasa di Indonesia itu mengakumulasi sejak kurun 1964 – 2007, masa-masa Sri bermukim di London. Dan itu semua menjadi refleksi baginya memandang dan mengenalkan kuliner Indonesia dari negeri orang.
Selain mengenalkan sisi eksotika, Sri sebenarnya menyadarkan pada dunia, bahwa saratnya penggunaan bahan makanan dalam kuliner Indonesia sebenarnya cukup untuk membuktikan kelayakannya bersaing di mancanegara. Bahan dasar memasak seperti kelapa, asem, kedelai, dan beras, diuraikan rinci dalam bab empat berikut pengolahannya melalui resep-resep lokal. Tidaklah salah, jika mendiang Onghokham pernah berseloroh makanan Indonesia layak diangkat sebagai haute cuisine seperti halnya China dan Perancis. Sebab metode dan teknik mengolah makanan Indonesia yang diuraikan Sri dalam bab lima cukup menggugah rasa percaya diri untuk disebut adiboga. Direbus, dikukus, dipanggang, dan digoreng, semua ada dalam teknik mengolah kuliner Indonesia.
Sri menuturkan kisah hidupnya lewat catatan dan pengamatannya terhadap perkembangan kuliner disertai kumpulan resep hingga seluk beluk budaya makan Indonesia dari kawasan barat hingga timur. Ini bukan sekedar buku memasak berbalut otobiografi penulis, tapi lebih dari itu sebuah karya mengenai budaya makan (foodways) yang langka sekali menyoal kuliner Indonesia. Hubungan cita rasa dengan kebiasaan dan pengaruh lingkungannya diuraikan Sri —seperti dikatakan sosiolog makanan, Stephen Mennell (1996)— melalui pengaruh sosial budaya yang membentuk cita rasa terhadap makanan di lingkungan di mana ia hidup.
Selama mengenal sosok Sri, meski dirinya bukan lagi warga negara Indonesia, kecintaannya pada kuliner Indonesia seolah mewakili suara-suara yang merindukan Indonesia. Makanan diyakininya sebagai pintu gerbang menikmati dan mengenal kebudayaan (hal. 6). Dan harapan Sri, karyanya ini bisa dinikmati dalam berbagai bahasa agar siapapun bisa mengenal dan menikmati ‘adiboga’ Indonesia dalam balutan kekayaan, keeksotisan alam, serta ragam budayanya. Nikmatnya membaca buku ini.
Cerita di Balik Rasa

Judul : Ceritarasa William Wongso; Kumpulan Resep Alternatif
Penulis : William W. Wongso
Penerbit: Gramedia, Jakarta, 2009
Tebal : x + 86 pagina
“Every cuisine tells a story…” (The Book of Jewish Food- Claudia Roden)
Apa yang dibilang Roden, penulis buku masak dari Inggris kelahiran Mesir itu menarik bahwa ada kisah dari setiap makanan. Seperti dikatakan dalam bukunya menyoal makanan sebagai jejak sejarah diaspora bangsa Yahudi: “Jewish food tells the story of an uprooted, migrating people and their vanished worlds.” Maka, betapalah mustahak lekatnya pencitraan makanan sebagai bagian dari keseharian hidup manusia yang memuat cerita di balik rasa yang kita nikmati. Kata-kata Roden ini juga menubuh dalam cerita rasa boga Indonesia yang riwayat silamnya terbentuk dari akulturasi berbagai pengaruh boga asing.
Kesan itu pula yang sepintas didapati dalam buku William W. Wongso, Ceritarasa William Wongso; Kumpulan Resep Alternatif. Sewaktu berbincang dengannya di sebuah resto di Jakarta beberapa bulan lalu, William meminta komentar menyoal istilah ‘ceritarasa’ yang dipakai dalam tajuk program memasaknya di sebuah televisi swasta. Tidak seperti keumuman program televisi, majalah, tabloid, hingga buku-buku resep yang latah memakai serapan kata asing ‘kuliner’ dengan berbagai embelnya, kekuatan istilah ‘ceritarasa’ –dikomentari kurang lebih begini:– boleh dibilang punya daya tarik dan mampu menyentuh esensi makanan yang dikonsumsi manusia.
Esensi yang berlandas pada telaah Claude Lévi-Strauss dalam Totemism (1963), menyoal gagasan bahwa makanan itu bukan sekedar “baik untuk dimakan” (bon à manger) namun “baik untuk dipikirkan” (bon à penser) terlebih dahulu. Hal yang baik untuk dipikirkan itu adalah kandungan kualitas bahan dalam makanan serta seni dan teknik pengolahannya, sebagaimana dalam tradisi boga Perancis merupakan tolok ukur sebuah haute cuisine, boga adiluhung. Dan citra citarasa dibangun dari hal demikian.
Soal wacana di balik rasa memang bergantung pada sarana yang membuat orang dapat memetakan makanan yang disukainya. Hanya saja masyarakat kita masih terkesan mengikuti trend komunal jika bicara soal makanan yang disukai. Taruh saja ketika booming sebuah merk brownis, masyarakat berduyun-duyun tersedot memburu makanan asing tersebut. Terlebih gaya hidup konsumerisme menggiring masyarakat untuk lebih memilih memenuhi gerai-gerai fast food yang –dibilang Eric Schloser dalam Fast Food Nation– “menutup rapat-rapat pintu dapurnya”. Terang saja budaya makan macam begini tidak memuat konteks “baik untuk dimakan”, juga tak ada seni di balik pengolahan makanan yang disantap. Padahal, jika mengorék sejarahnya, pusaka boga Indonesia pernah digaungkan sebagai semacam haute cuisine kala kolonial.
Ya, buku William Wongso ini adalah sarana yang pun sepintas sungguh mengingatkan pada buku-buku panduan masak hidangan Indisch (baca: hidangan Indonesia, sebutan kala akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20). Kookboek (buku masak) sendiri sarana yang bagi masyarakat kolonial Eropa menikmati hidangan Indisch yang dinilainya lebih berselera ketimbang hidangan Eropa, seperti dibilang tokoh Betje dalam novel Student Hijo-nya Marco Kartodikromo: “saya rasa itu makanan (hidangan Jawa –penulis) lebih enak daripada kentang biefstuk yang kita makan ini.” Penilaian ini tentu saja dilandasi buku-buku panduan masak yang bukan cuma memuat resep demi resep di setiap lembar halamannya; tapi selera mereka digugah dengan selipan deskripsi bahan-bahan makanan di alam tropis yang teramat kayanya akan afiat dan juga –tentu– citarasanya. Ditambah pula gambar-gambar yang turut menggugah selera penikmat hidangan Indisch.
Buku William ini memang tidak setebal kitab Groot Nieuw Volledig Indisch Kookboek yang disusun Catenius van der Meijden pada 1915, sebuah buku panduan memasak yang memuat 1381 resep hidangan Indisch ditambah hidangan Belanda. Meijden dikenal pandai benar memadu rempah-rempah seperti lada putih, lada hitam, buah pala, bunga pala, kayu manis, dan cengkeh sebagai alternatif mengolah hidangan Belanda semisal bruine bonen soep (sup kacang merah), huzarensla (selada Belanda), Indische pastei (pastel tutup) dan zwartzuur (yang kita lafalkan kemudian dengan nama ‘suar-suir ayam’). Sebaliknya, pengaruh boga Belanda juga tampak sekali dari beberapa jenis variasi hidangan yang kemudian diterima sebagai boga Indonesia setelah melalui percampuran dan penyesuaian bahan, sebut saja sup (soep), perkedel (frikadel), dan semur (smoor). Pengolahan alternatif ini merupakan sebentuk paduan yang secara harmonis meresap dan akhirnya membentuk berbagai jenis makanan yang dinikmati kini.
Layaknya Nyonya Meijden itu, begitu pula yang didapati dalam buku William ini. Melalui resep-resep alternatifnya, misalnya saja William memadu-padankan nasi jamblang, masakan khas Cirebon itu, dalam bentuk sushi (hal.45-46). Sebentuk fusion yang telah ada sejak masa putri Jepara, Kartini, ketika memadukan makanan lokal dan asing (hal. 26-27). Buku ini sungguh menampilkan akar boga Indonesia sebagaimana disebut pakar masakan Indisch sekaligus penulis sastra, Beb Vuyk dalam Groot Indonesisch Kookboek (1987) sebagai: produkt van een mengculture, hasil budaya campuran. Dan William mempertahankan benar citra itu melalui keterampilannya memodifikasi boga lokal dengan sentuhan asing; atau sebaliknya yang asing dilokalkan berdasarkan kebiasaan makan atau ketersediaan bahan lokal yang ada. Misalnya saja mengganti saus dari kecap ikan dengan terasi dalam membuat lumpia Vietnam (hal. 65–67).
Julukan ‘maestro kuliner Indonesia’ tampaknya teruji dari bukan cuma kemahirannya mengolah resep, namun juga menyingkap rahasia kondimen hingga daun untuk membungkus makanan. Misalnya saja, tips untuk membuat mi goreng jawa lebih gurih disarankannya untuk menggunakan telur bebek ketimbang telur ayam kampung (hal. 18); tentang konsumsi dadih, peraman air susu kerbau dalam potongan batang bambu yang ditutup daun pisang sebagai rahasia mengapa orang Minang bisa terbebas dari kegemukan (hal. 58); hingga soal daun pisang yang dipakai untuk membungkus masakan gadon daging agar membuatnya tahan lebih lama, sebab daun ini mengandung disinfektan alami (hal. 22) atau berkhasiat antibakteri sebagaimana William juga dapati sebagai pembungkus sosis daging di Vietnam (hal. 30).
Dengan selipan fotografi yang memotret manusia dengan ragam budaya makannya disertai cerita dan informasi dalam narasi memikat, sungguh ini bukan sekedar buku kumpulan resep biasa; namun gambaran akan budaya makan yang menambah wawasan pembaca terhadap khasanah boga. Pun dalam keluasan William menjelajah dunia boga seantero nusantara hingga mancanegara, buku ini boleh dibilang sebentuk ikhtiar melestarikan boga Indonesia yang –dalam cerita lalunya– memang adiluhung itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)