May 5, 2010

Wajah Indonesia dalam Kuliner



Judul : Indonesian Food
Penulis : Sri Owen
Terbit : 2008
Penerbit : Pavilion, London
Tebal buku : 287 halaman

Mengenalkan Indonesia melalui dunia wisata adalah hal biasa. Namun, mengenalkannya melalui budaya kuliner, bukanlah hal biasa.

Sebuah buku kuliner bertajuk Cuisines of Southeast Asia: a Culinary Journey through Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, Malaysia, Singapore, Indonesia and the Philippines (1993) karya Gwenda L. Hyman pernah menarik perhatian saya. Meski di dalamnya kuliner Indonesia disinggung sebagai salah satu bagian regional Asia Tenggara saja, namun hal yang berkesan, dengan uraian begitu menarik Hyman menunjukkan bagaimana dinamika kedudukan makanan dalam kebudayaan manusia.

Menarik dan pentingnya kedudukan makanan itu ditemukan juga dalam buku Indonesian Food. Buku ini boleh dikatakan sebuah ikhtiar mengenalkan Indonesia melalui makanan. Sri Owen, penulis buku ini, adalah praktisi kuliner kelahiran Indonesia, yang sudah 44 tahun bermukim di Inggris. Tidak seperti lazimnya buku-buku kuliner, dalam buku ini Sri bukan sekedar mengenalkan aneka jenis makanan dan resep, namun menghidangkan berbagai jenis makanan sebagai medium mengenalkan khasanah budaya Indonesia.
Sebuah keunikan tersendiri mengenalkan Indonesia melalui cerita dan cita rasa kulinernya; ditambah pengalaman hidup penulis pada masa-masa mudanya di Pulau Sumatra, Jawa, dan selebihnya dihabiskan di Eropa itu. Karya sebelumnya, Indonesian Regional Food and Cookery (1986) pun telah memancing antusiasme orang-orang asing terhadap kuliner Indonesia.

Buku yang terdiri dari enam bab ini diawali kisah Sri pada kurun 1939 – 1952. Hidup pada masa itu, bagi Sri bukan sekedar warisan resep-resep masakan neneknya dan penganan nagasari, pisang goreng, rempeyek, klepon, pergedel yang disuka dan dikenangnya. Ada hal yang mengusiknya ketika mengenang persentuhan kuliner Indonesia dengan budaya kolonial.

Rijsttafel-lah yang mengusik Sri; sebab seperti halnya masa kolonial, pada masa poskolonial budaya makan kolonial itu masih hidup sebagai daya tarik wisata. Sebagaimana ia dedahkan dalam komentarnya ketika suatu kali mengunjungi salah satu hotel bintang lima di Bali yang memajang poster rijsttafel (hal. 13). Dahulu para pembesar kolonial begitu membanggakan hidangan Indonesia lewat sajian rijsttafel yang disajikan di ruang-ruang makan keluarga dan perhotelan. Dan, seperti halnya kini di Belanda, di Indonesia pun –misalnya di Restoran Oasis, Jakarta– budaya makan kolonial ini masih dijadikan sebagai daya tarik wisata. Pengadopsian serta pengemasan kuliner pribumi untuk memenuhi selera orang-orang Belanda nyata telah mencitrakan betapa mewah dan memikatnya hidangan Indonesia.

Melalui cerita rijsttafel, Sri menyiratkan bagaimana kolonialisme mengkonstruksi citra kuliner Indonesia sebagai ‘haute cuisine’ (boga adiluhung). Dan pada masa sekarang, boleh dibilang, membangun yang ‘adiluhung’ itu belum mampu menyamai rijsttafel.

Begitulah salah satu dari keseluruhan fragmen narasi Sri dengan selipan 120 resep hidangan Indonesia. Sepintas buku ini mengingatkan saya pada buku tebal Groot Indonesisch Kookboek, karya Beb Vuyk, wanita Indo-Belanda yang hobi memasak hidangan Indïsch (Indonesia) dan tinggal cukup lama di Indonesia pada medio pertama abad ke-20. Dan juga ada Catenius van der Meijden, ahli memasak awal abad ke-20, yang tidak pernah puas mengolah kuliner Indïsch dalam buku-bukunya yang dikenal di mancanegara masa itu. Tapi, baik narasi Vuyk maupun Meijden yang dibingkai dalam ribuan resep Indïsch nan memikat dan eksotik itu, dibuat tidak lebih sebagai pemuas selera orang-orang Eropa kala itu.

Sri lewat potret persawahahan di Minangkabau, warung yang berdampingan dengan rumah adat Minang, nelayan di Maninjau, penjaja makanan di Jawa, para wanita Bali menyuhun sesajian, selamatan di Jawa dan Bali, hingga kegiatan memasak di dapur orang Jawa sungguh menampilkan eksotisme dalam sudut pandangnya sebagai anak Indonesia yang merindukan tanah kelahirannya. Sri menaruh keping kepentingan dalam menyadarkan orang Indonesia untuk berbangga pada kulinernya; dan keping lain merangsang antusiasme orang asing pada kuliner Indonesia.

Pada kurun 1952 – 1964, dalam bab dua buku ini, Sri berkisah masa-masa menempuh pendidikan di Yogyakarta dan perkenalan dengan Roger Owen, pria Inggris yang kemudian menikahinya. Masa-masa ini, Sri banyak mengamati hal-hal renik seputar kuliner Indonesia yang meninggalkan kesan penting baginya di kemudian hari sebagai praktisi kuliner. Sebenarnya pengamatan biasa, tapi wawasan kulinernya begitu menarik, misalnya ketika bercerita rujak kesukaan orang Jawa yang dikatakannya sebagai pengalih fruit salad kesukaan orang Eropa. Dan perihal higienitas, siapapun yang mengunjungi Indonesia, ia lebih suka merekomendasikan minum air kelapa muda langsung dipetik dari pohonnya, ketimbang meminum stroop (sirup) dan sari buah kemasan (hal.42).

Semua pengalaman semasa di Indonesia itu mengakumulasi sejak kurun 1964 – 2007, masa-masa Sri bermukim di London. Dan itu semua menjadi refleksi baginya memandang dan mengenalkan kuliner Indonesia dari negeri orang.

Selain mengenalkan sisi eksotika, Sri sebenarnya menyadarkan pada dunia, bahwa saratnya penggunaan bahan makanan dalam kuliner Indonesia sebenarnya cukup untuk membuktikan kelayakannya bersaing di mancanegara. Bahan dasar memasak seperti kelapa, asem, kedelai, dan beras, diuraikan rinci dalam bab empat berikut pengolahannya melalui resep-resep lokal. Tidaklah salah, jika mendiang Onghokham pernah berseloroh makanan Indonesia layak diangkat sebagai haute cuisine seperti halnya China dan Perancis. Sebab metode dan teknik mengolah makanan Indonesia yang diuraikan Sri dalam bab lima cukup menggugah rasa percaya diri untuk disebut adiboga. Direbus, dikukus, dipanggang, dan digoreng, semua ada dalam teknik mengolah kuliner Indonesia.

Sri menuturkan kisah hidupnya lewat catatan dan pengamatannya terhadap perkembangan kuliner disertai kumpulan resep hingga seluk beluk budaya makan Indonesia dari kawasan barat hingga timur. Ini bukan sekedar buku memasak berbalut otobiografi penulis, tapi lebih dari itu sebuah karya mengenai budaya makan (foodways) yang langka sekali menyoal kuliner Indonesia. Hubungan cita rasa dengan kebiasaan dan pengaruh lingkungannya diuraikan Sri —seperti dikatakan sosiolog makanan, Stephen Mennell (1996)— melalui pengaruh sosial budaya yang membentuk cita rasa terhadap makanan di lingkungan di mana ia hidup.

Selama mengenal sosok Sri, meski dirinya bukan lagi warga negara Indonesia, kecintaannya pada kuliner Indonesia seolah mewakili suara-suara yang merindukan Indonesia. Makanan diyakininya sebagai pintu gerbang menikmati dan mengenal kebudayaan (hal. 6). Dan harapan Sri, karyanya ini bisa dinikmati dalam berbagai bahasa agar siapapun bisa mengenal dan menikmati ‘adiboga’ Indonesia dalam balutan kekayaan, keeksotisan alam, serta ragam budayanya. Nikmatnya membaca buku ini.

No comments: