May 5, 2010

Cerita di Balik Rasa





Judul : Ceritarasa William Wongso; Kumpulan Resep Alternatif
Penulis : William W. Wongso
Penerbit: Gramedia, Jakarta, 2009
Tebal : x + 86 pagina


“Every cuisine tells a story…” (The Book of Jewish Food- Claudia Roden)

Apa yang dibilang Roden, penulis buku masak dari Inggris kelahiran Mesir itu menarik bahwa ada kisah dari setiap makanan. Seperti dikatakan dalam bukunya menyoal makanan sebagai jejak sejarah diaspora bangsa Yahudi: “Jewish food tells the story of an uprooted, migrating people and their vanished worlds.” Maka, betapalah mustahak lekatnya pencitraan makanan sebagai bagian dari keseharian hidup manusia yang memuat cerita di balik rasa yang kita nikmati. Kata-kata Roden ini juga menubuh dalam cerita rasa boga Indonesia yang riwayat silamnya terbentuk dari akulturasi berbagai pengaruh boga asing.

Kesan itu pula yang sepintas didapati dalam buku William W. Wongso, Ceritarasa William Wongso; Kumpulan Resep Alternatif. Sewaktu berbincang dengannya di sebuah resto di Jakarta beberapa bulan lalu, William meminta komentar menyoal istilah ‘ceritarasa’ yang dipakai dalam tajuk program memasaknya di sebuah televisi swasta. Tidak seperti keumuman program televisi, majalah, tabloid, hingga buku-buku resep yang latah memakai serapan kata asing ‘kuliner’ dengan berbagai embelnya, kekuatan istilah ‘ceritarasa’ –dikomentari kurang lebih begini:– boleh dibilang punya daya tarik dan mampu menyentuh esensi makanan yang dikonsumsi manusia.

Esensi yang berlandas pada telaah Claude Lévi-Strauss dalam Totemism (1963), menyoal gagasan bahwa makanan itu bukan sekedar “baik untuk dimakan” (bon à manger) namun “baik untuk dipikirkan” (bon à penser) terlebih dahulu. Hal yang baik untuk dipikirkan itu adalah kandungan kualitas bahan dalam makanan serta seni dan teknik pengolahannya, sebagaimana dalam tradisi boga Perancis merupakan tolok ukur sebuah haute cuisine, boga adiluhung. Dan citra citarasa dibangun dari hal demikian.

Soal wacana di balik rasa memang bergantung pada sarana yang membuat orang dapat memetakan makanan yang disukainya. Hanya saja masyarakat kita masih terkesan mengikuti trend komunal jika bicara soal makanan yang disukai. Taruh saja ketika booming sebuah merk brownis, masyarakat berduyun-duyun tersedot memburu makanan asing tersebut. Terlebih gaya hidup konsumerisme menggiring masyarakat untuk lebih memilih memenuhi gerai-gerai fast food yang –dibilang Eric Schloser dalam Fast Food Nation– “menutup rapat-rapat pintu dapurnya”. Terang saja budaya makan macam begini tidak memuat konteks “baik untuk dimakan”, juga tak ada seni di balik pengolahan makanan yang disantap. Padahal, jika mengorék sejarahnya, pusaka boga Indonesia pernah digaungkan sebagai semacam haute cuisine kala kolonial.

Ya, buku William Wongso ini adalah sarana yang pun sepintas sungguh mengingatkan pada buku-buku panduan masak hidangan Indisch (baca: hidangan Indonesia, sebutan kala akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20). Kookboek (buku masak) sendiri sarana yang bagi masyarakat kolonial Eropa menikmati hidangan Indisch yang dinilainya lebih berselera ketimbang hidangan Eropa, seperti dibilang tokoh Betje dalam novel Student Hijo-nya Marco Kartodikromo: “saya rasa itu makanan (hidangan Jawa –penulis) lebih enak daripada kentang biefstuk yang kita makan ini.” Penilaian ini tentu saja dilandasi buku-buku panduan masak yang bukan cuma memuat resep demi resep di setiap lembar halamannya; tapi selera mereka digugah dengan selipan deskripsi bahan-bahan makanan di alam tropis yang teramat kayanya akan afiat dan juga –tentu– citarasanya. Ditambah pula gambar-gambar yang turut menggugah selera penikmat hidangan Indisch.

Buku William ini memang tidak setebal kitab Groot Nieuw Volledig Indisch Kookboek yang disusun Catenius van der Meijden pada 1915, sebuah buku panduan memasak yang memuat 1381 resep hidangan Indisch ditambah hidangan Belanda. Meijden dikenal pandai benar memadu rempah-rempah seperti lada putih, lada hitam, buah pala, bunga pala, kayu manis, dan cengkeh sebagai alternatif mengolah hidangan Belanda semisal bruine bonen soep (sup kacang merah), huzarensla (selada Belanda), Indische pastei (pastel tutup) dan zwartzuur (yang kita lafalkan kemudian dengan nama ‘suar-suir ayam’). Sebaliknya, pengaruh boga Belanda juga tampak sekali dari beberapa jenis variasi hidangan yang kemudian diterima sebagai boga Indonesia setelah melalui percampuran dan penyesuaian bahan, sebut saja sup (soep), perkedel (frikadel), dan semur (smoor). Pengolahan alternatif ini merupakan sebentuk paduan yang secara harmonis meresap dan akhirnya membentuk berbagai jenis makanan yang dinikmati kini.

Layaknya Nyonya Meijden itu, begitu pula yang didapati dalam buku William ini. Melalui resep-resep alternatifnya, misalnya saja William memadu-padankan nasi jamblang, masakan khas Cirebon itu, dalam bentuk sushi (hal.45-46). Sebentuk fusion yang telah ada sejak masa putri Jepara, Kartini, ketika memadukan makanan lokal dan asing (hal. 26-27). Buku ini sungguh menampilkan akar boga Indonesia sebagaimana disebut pakar masakan Indisch sekaligus penulis sastra, Beb Vuyk dalam Groot Indonesisch Kookboek (1987) sebagai: produkt van een mengculture, hasil budaya campuran. Dan William mempertahankan benar citra itu melalui keterampilannya memodifikasi boga lokal dengan sentuhan asing; atau sebaliknya yang asing dilokalkan berdasarkan kebiasaan makan atau ketersediaan bahan lokal yang ada. Misalnya saja mengganti saus dari kecap ikan dengan terasi dalam membuat lumpia Vietnam (hal. 65–67).

Julukan ‘maestro kuliner Indonesia’ tampaknya teruji dari bukan cuma kemahirannya mengolah resep, namun juga menyingkap rahasia kondimen hingga daun untuk membungkus makanan. Misalnya saja, tips untuk membuat mi goreng jawa lebih gurih disarankannya untuk menggunakan telur bebek ketimbang telur ayam kampung (hal. 18); tentang konsumsi dadih, peraman air susu kerbau dalam potongan batang bambu yang ditutup daun pisang sebagai rahasia mengapa orang Minang bisa terbebas dari kegemukan (hal. 58); hingga soal daun pisang yang dipakai untuk membungkus masakan gadon daging agar membuatnya tahan lebih lama, sebab daun ini mengandung disinfektan alami (hal. 22) atau berkhasiat antibakteri sebagaimana William juga dapati sebagai pembungkus sosis daging di Vietnam (hal. 30).

Dengan selipan fotografi yang memotret manusia dengan ragam budaya makannya disertai cerita dan informasi dalam narasi memikat, sungguh ini bukan sekedar buku kumpulan resep biasa; namun gambaran akan budaya makan yang menambah wawasan pembaca terhadap khasanah boga. Pun dalam keluasan William menjelajah dunia boga seantero nusantara hingga mancanegara, buku ini boleh dibilang sebentuk ikhtiar melestarikan boga Indonesia yang –dalam cerita lalunya– memang adiluhung itu.

No comments: