May 28, 2010

Molly Bondan: In Love with a Nation, Penuturan dalam Kata-Katanya Sendiri.

Judul: Molly Bondan: In Love with a Nation, Penuturan dalam Kata-Katanya Sendiri.
Penulis: Molly Bondan
Editor: Joan Hardjono-Charles Warner
Penterjemah: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Obor
Cetakan: I, 2008
Halaman: xviii+298 hal.


Pasang surut hubungan Indonesia – Australia adalah bagian tidak terpisahkan dari faktor historis dan isu-isu politik kedua Negara. Dan fragmen penting yang sedianya disadari dapat menyadarkan hubungan keduanya hidup pada sosok: Molly Bondan.


Buku otobiografi Molly Bondan ini adalah keping dari sejarah hubungan Indonesia; selain tentunya dengan Molly pribadi, juga Australia–sebagai tanah kelahirannya itu. Siapakah Molly? Terlahir pada 1912 dengan nama Molly Warner, proses persentuhannya dengan Indonesia dimulai dari ketidaktahuan dan ketidaksengajaannya masuk dalam poros revolusi kemerdekaan Indonesia. Perkenalannya dengan para aktivitis politik antikolonial Indonesia di Australia yang tergabung dalam Central Komite Kemerdekaan Indonesia (CENKIM)-lah yang mengantarkan Molly menyelami isu-isu politik seputar rekolonialisasi Belanda di Indonesia; terlebih pernikahannya dengan Mohamad Bondan, eks-Digulis dan eksponen CENKIM.


Kisah cintanya dengan Bondan sendiri tidak diungkap Molly berlebih. Tapi itu dirasakan hidup dalam kelindan idealismenya bersanding dengan Bondan yang –atas kesadarannya sendiri– membawanya ke Indonesia pada 12 November 1947 dan berjuang mempertahankan kemerdekaan republik ini.


Bukan hanya menekankan pada aktivitas politik, namun hal menarik dari fragmen hidup Molly adalah pandangan dan sikap kritisnya terhadap dinamika wajah kehidupan sosial budaya Indonesia. Misalnya saja pandangannya seputar kehidupan beragama di Indonesia yang dinilainya hanya hidup pada sendi-sendi formalitas saja; hanya tampilan luar tanpa disertai pemaknaan mendalam pada hakikat universalitas agama dan nilai-nilai ketuhanan yang dikandung dalam agama itu sendiri.


Penilaian Molly ini tidak bisa lepas dari filosofi ajaran teosofi yang sejak kecil dikenal dan diresapinya (hal. 8 – 10). Maka itu, dalam kritiknya atas penerapan Sila ke-1 Pancasila yang dimaknai masyarakat secara banal, tidak lebih sekedar “harus pergi ke gereja atau mesjid”, dan ujarnya “aku tidak percaya bahwa maknanya seperti itu. Arti yang benar adalah kesadaran yang terus-menerus tentang keberadaan Tuhan, selalu mengingat Yang Maha Esa dalam setiap kegiatan…” Pemaknaannya atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “Believe in God” itu, mewakili pandangannya atas Pancasila sebagai ideologi politik yang ideal; dan seperti dikatakannya “selama Indonesia menetapkan bahwa pasal-pasal itu adalah tujuannya, aku akan mendukung Indonesia apapun yang terjadi.” (hal. 184 – 187). Namun di matanya, pemaknaan dan penerapan Pancasila hanya tampak dalam kemasan luar, formalitas yang dangkal.


Kegagalan memaknai pancasila –yang diharapkan sebagai pembentuk mentalitas masyarakat Indonesia– menurutnya malah hanya menghasilkan deviasi moral. Penyimpangan itu, sebagai contoh, tampak dari kegagalan peristiwa kudeta tahun 1965 yang ia nilai sebagai masalah mengerikan dan membebani, belum lagi kegilaan arus ‘modernisasi’ yang melanda masyarakat Indonesia (hal. 182). Penerapan ‘demokrasi’ adalah salah satu fenomena ‘modernisasi’ pascagagalnya kudeta tahun 1965 yang menjadi masalah nyata dan –hingga kini masih– menggejala lewat aktualisasi penekanan fungsi-fungsi partai politik sebagai komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. Padahal baginya, jelas, organisasi politik di negara ini tidak berfungsi sama sekali dalam membentuk ideologi; sebab yang diikuti hanyalah satu ideologi: Pancasila.


Pandangannya terhadap Pancasila sebagai sebuah ideologi juga dikaitkan dengan keeratannya bekerja dalam pemerintahan Soekarno hingga Orde Baru. Salah satu peran yang dilakoninya adalah penerjemah pidato-pidato Presiden Soekarno.


Pidato Presiden Soekarno di muka Sidang Umum PBB bertajuk New Emerging Forces dan To Build the World Anew tidak lepas dari peran Molly sebagai penerjemah naskah pidato tersebut. Terdapat perannya di balik muatan naskah pidato yang penuh gebu spirit nasionalisme itu; tapi yang utama, secara kejiwaan ia telah melepas mentalitas serta geneologinya sebagai seorang ‘Barat’ di tengah konstelasi konflik ideologi politik kapitalisme liberal dan komunisme imbas Perang Dingin –yang saat itu terkutubkan dalam Blok Barat dan Timur. Tentu, ini bukan soal loyalitas Molly berpihak pada Indonesia atau berkiblat pada salah satu kumparan ideologi; tapi idealismenya memandang superiotas Barat dengan gaya neoimperialismenya yang membuat ia memposisikan diri demikian.


Molly seakan coba mendekonstruksi kecupetan konstruksi dikotomik Barat dan Timur. Jaras itulah yang selama ini masih saja mengekang mentalitas orang Indonesia memandang Australia sebagai Barat yang kuasa; dan segelintir orang Australia yang memandang Indonesia sebagai Timur yang rendah. Tapi, Molly lewat pengalaman dan pandangan hidupnya meluruhkan itu semua.


Otobiografi yang disusunnya ini menuangkan pandangannya sejak awal persentuhannya dengan Indonesia, pernikahan dengan Mohamad Bondan, pengalamannya pada masa Orde Lama hingga Orde Baru pada dasawarsa 1980-an, hingga masa menjelang tutup usianya pada 1990. Lewat enam belas pembabakan perjalanan hidupnya, ditambah suplemen renungan dan lampiran seputar ajaran teosofi yang diresapinya hingga menyoal asosiasi Indonesia – Australia; setidaknya buku ini menjadi salah satu refleksi sejarah seputar wacana nasionalisme Indonesia dilihat dari perspektif Molly. Dan dalam skala luas sebagai penyadar pasang-surut hubungan Indonesia – Australia.
Seperti dikatakan John Legge dalam pembuka kata buku ini (hal. xi), Molly memang cukup berhati-hati dalam membuat pernyataan tegas seputar peran dirinya dalam menyusun otobiografinya ini. Itulah kenapa buku ini mampu mendudukkan perspektif Molly secara khusus dan kondisi umum politik Indonesia terkait pasang surut hubungan dengan Australia selama ini.


Membaca sosok Molly seakan dua sisi sekeping mata uang: ia yang terlahir sebagai seorang Australia namun menjadi seorang nasionalis, republiken yang menumpahkan hidupnya membela kemerdekaan Indonesia. Tapi, apalah arti ia yang muasalnya seorang dari Negeri Kanguru atau si filantropis pada Indonesia ini? Toh benar seperti dibilang Ben Anderson: nation adalah imagined community yang hakikatnya kita semua adalah “anak semua bangsa”–mengutip salah satu judul tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Dan sosok Molly hidup dalam jaras itu!

No comments: