Mar 7, 2010

Siapa (Sebenarnya) Mencipta Sunda?




Kompas, October 22nd, 2008 Filed under: Opini by admin

Fadly Rahman

Wacana yang mengemuka tentang penciptaan Sunda semula diangkat Gani A. Jaelani (24/2), bahwa Sunda dicipta Belanda dalam wujud identitas kebahasaan. Sedangkan Henry H. Loupias lewat tanggapannya “Sunda Bukan Dicipta Belanda” (15/3) malah membawa wacana kreasi Sunda ini dalam ranah yang melebar dan kurang bernas. Adapun Atep Kurnia menafsir Sunda (24/3) tidak lebih dari kesinisannya pada bagaimana Barat (Belanda) mencitrakan Timur (Sunda). Ketiganya masih bermuara pada ruas masalah: “Sunda dicipta.”

Jelas, untuk mempertegas Sunda, dalam karya monumentalnya Nusa Jawa: Silang Budaya; Batas-batas Pembaratan, Denys Lombard mesti terlebih dahulu mengkonsepsikan Jawa (secara geografis dan kultural). Pasalnya, dalam satu kesatuan geografis, hidup dua budaya besar, Jawa dan Sunda (selain Pesisir). Dan hakikatnya, secara kultur historis keduanya memiliki interaksi yang kuat. Jawa banyak memengaruhi unsur-unsur kesundaan, sehingga Jawa selalu menjadi bayang-bayang Sunda. Pascajatuhnya dominasi politik Mataram (1677) dan Priangan kemudian diserahkan kepada VOC (1705), maka mainstream mulai jelas mengarah pada pemisahan budaya: Jawa dan Sunda.

Rekayasa kolonial mencipta identitas Sunda konon disebabkan kekhawatiran mereka pada kekuatan Islam yang dapat menyatukan kekuatan di Jawa. Lewat para pakar sejarah, budaya, dan bahasa, pemerintah mengembangkan proyek Javanologi dan menyusul kemudian Sundanologi.

Syakwasangka Sunda terhadap Jawa terlahir dari embrio “pengetahuan sebagai kekuatan” ala kolonial. Itulah strategi yang mungkin ditanam di tengah rendahnya budaya tulis orang pribumi. Andaikata C.M. Pleyte dan N.J. Krom tidak menginventarisir laporan Dinas Kepurbakalaan (Oudheidkundigen Dienst) masa Hindu di Tatar Sunda, mungkin Sunda yang arkais seperti disinggung Atep, sekarang ini jalannya akan jadi lain sebagai sebuah pengetahuan. Pleyte dan Krom adalah pionir yang tentu saja mendahului para sejarawan dan filolog sekarang ini dalam penelitian naskah-naskah Sunda kuno. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang sejarah Sunda kuno mula-mula dikonstruksi mereka.

Tetapi tetap saja, dalam pengetahuan yang diproduksi lewat susunan naskah tradisional (kidung dan carita) itu, misalnya, unsur mitis kadung menyelimuti identitas kesundaan. Lihat saja geliat chauvinistik terhadap tokoh mitos legendaris Prabu Siliwangi yang meruyak sebagai simbol hegemonik urang Sunda. Pun, lihatlah bagaimana Palagan Bubat (1357) seperti konon dikisahkan naskah Pararaton dan Kidung Sundayana begitu diekspos sebagai representasi dendam kesumat orang Sunda terhadap Jawa. Belakangan malah muncul asumsi peristiwa itu diragukan pernah terjadi. Demi membangkitkan disharmoni Jawa dan Sunda, maka tragedi kolosal tersebut dijadikan senjata ampuh kolonial sebagai pemecah belah (devide et impera). Sebuah kesengajaan pengetahuankah?

Sunda secara historis terlahir lampau. Namun, identitasnya baru tercipta dengan cara dilembagakan. Kolonialisme Belanda sebelumnya sudah melembagakan Jawa lewat penyelidikan Javanologi-nya. Ketika pulau Jawa menjadi konsentris kekuasaan, lahir Mooi Indie (Hindia yang Molek) yang segalanya identik Jawa. Lalu menyusul citra Mooi Bandoeng dengan Parijs van Java-nya pada medio kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yang dikerangka Belanda dalam bingkah alam Priangan yang eksotik, budaya orang Sunda, hingga bahasanya. Nah, Sunda dilembagakan (bukan dicipta) –salah satunya– ketika bahasa Sunda secara leksikal mulai dikodifikasi sebagai kamus dan bahasa ajar di lembaga sekolah.

“Sunda dicipta Belanda” lewat media bahasa seperti ditafsir Gani boleh jadi kepentingan dan rekayasa kolonial. Akan tetapi, Arnold J. Toynbee sudah mengatakan bahwa “penciptaan bahasa merupakan hal yang jauh lebih belakangan dibandingkan proses sosialitasnya… Kata-kata adalah produk dari kecakapan manusia. Tidak ada komunitas manusia yang tidak mempunyai kata-kata.”

Toynbee benar. Buktinya, dalam Summa Oriental (1513-1515), Tome Pires memberi kesaksian kalau bahasa Sunda jelas sekali berbeda dengan bahasa Jawa meski hidup di satu pulau. Kesaksian Jurubasa darmamurcaya (ahli bahasa) masa kerajaan Sunda menyibak bahwa bahasa Sunda sekitar abad ke-16 dikelilingi oleh ragam bahasa asing (carek paranusa) dari dalam dan luar negeri. Ketika Priangan berada di bawah kekuasaan Mataram (abad ke-17), bahasa Jawa sebagai bahasa resmi turut memengaruhi perkembangan bahasa Sunda. Baru pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial lewat para figur Belanda memulai era pelembagaan identitas Sunda secara bahasa.

Dalam rangkaian proses sosialnya tersebut, bahasa Sunda mengalami depurifikasi yang puncaknya dioperasi lewat kekuasaan kolonial.

Lalu, siapa diuntungkan dari Sunda hasil operasi kuasa Belanda ini? Figur K.F. Holle (1829-1896) boleh jadi contoh. Holle dikenal sebagai sosok Belanda yang “nyunda”; sastrawan Sunda dan pemaju bahasa Sunda. Holle akrab di kalangan Menak Priangan pada paruh kedua abad ke-19. Begitu erat dengan budaya Sunda, hidupnya sudah seperti orang Sunda. Sebagai ambtenaar, Holle juga ditugaskan pemerintah menyusun buku-buku pelajaran berbahasa Sunda.

Di sini, hidup Holle segaris dengan si ahli bahasa Nusantara, Herman van der Tuuk (1824-1894) yang pernah berkomentar “semua yang telah dikerjakan untuk bahasa-bahasa Nusantara sama sekali tidak berharga, dan tidak akan ada perubahan, selama orang tidak mempelajarinya atas kepentingan bahasa-bahasa itu sendiri. Orang tidak akan banyak mencapai di segala bidang selama melakukan pekerjaan itu tanpa cinta.”

Apa untungnya bagi Holle dan Tuuk melekatkan diri dengan budaya pribumi; juga, apa untungnya Sunda dimajukan oleh figur yang notabene Belanda? Ternyata ada yang lebih penting dari sekedar kepentingan kolonial, yaitu kepentingan bahasa itu sendiri untuk berubah. Harus pula diakui bahwa Sunda di tangan Holle bukan lagi bahasa milik orang Sunda. Bangsa atau etnis manapun bisa menjadi “Sunda”, mungkin malah melebihi orang Sunda sekalipun. Di situlah fungsi identitas bermain yang kemudian menunjukkan kepentingan bahasa itu sendiri; bukan semata kepentingan kolonial terhadap pribumi.

Maka, dalam sejarah bahasa manapun, sebuah bahasa tentu mengalami interaksi dengan pengaruh luar. Tidak ada bahasa terjaga benar kemurniannya. Misalnya dalam budaya Indis, merespon Henry, bahasa Sunda (selain Jawa dan Betawi) juga berakulturasi dengan bahasa Belanda, yang kemudian menghasilkan bahasa petjuk (komposisi bahasa Sunda dan Belanda). Bagaimanapun Sunda sudah teridentitaskan. Sehingga, ketika dipengaruhi, unsur-unsur asing itu terserap. Yang mewujud kemudian adalah Sunda yang telah terakumulasi oleh unsur Jawa, Melayu, Belanda… Adapun yang murni Sunda tentu sulit diraba. Hal itu sudah ditelan oleh ruang dan waktu.

Ruh Sunda yang murni, dicipta dalam ruang dan waktu. Pada satu titik masa, Sunda menjadi pranata yang melahirkan identitas, seperti juga halnya Jawa, Batak, Bali… Dus, kata dicipta menjadi tidak lebih dari —menyinggung Lyotard— “permainan bahasa dan diskursus.” Tajuk dicipta, bukan dicipta, dan tidak dicipta: abstrak. Semua ternyata tengah berkelindan pada pranata.

(Picture source: http://aseanchat.com/default.aspx?g=posts&t=255)

No comments: